Dampak Militer Jepang Pada Ekonomi Sosial dan Budaya Di Indonesia - Adalah Mari kita bahas materi ini dengan rangkuman dibawah ini
1. Dampak terhadap
Kehidupan Ekonomi
Pendudukan Jepang membawa
dampak yang besar terhadap kehidupan ekonomi Indonesia. Ketika Jepang menduduki
Indonesia, objek-objek vitak alat-alat produksi telah hancur sehingga pada awal
pendudukan Jepang sebagian besar kehidupan ekonomi lumpuh. Pemerintah
pendudukan Jepang mulai mengeluarkan peraturan-peraturan untuk menjalankan roda
ekonomi. Pengawasan terhadap peredaran dan penggunaan sisasisa persedian barang
diperketat. Untuk mencegah meningkatnya harga barang, dikeluarkan peraturan
pengendalian harga dan dijatuhkan hukuman berat bagi pelanggarnya.
Pemerintah Jepang mengembangkan
pola Ekonomi Perang di mana setiap wilayah harus melaksanakan autarki, artinya setiap daerah harus memenuhi kebutuhannya
sendiri dan memenuhi kebutuhan perang. Tuntutan kebutuhan pangan pada tahun
1942 semakin meningkat. Pengerahan kebutuhan perang semakin meningkat.
Dilancarkanlah kampanye pengerahan dan penambahan bahan pangan secara
besar-besaran. Rakyat dituntut untuk menaikkan produksi tanaman jarak dan
menjadi pekerja romusha.
2. Dampak terhadap
Mobilitas Sosial
Di samping menguras sumber daya
alam, Jepang juga melakukan eksploitasi tenaga manusia. Puluhan hingga ratusan
penduduk dikerahkan untuk kerja paksa guna membangun sarana dan prasarana
perang. Mereka dipaksa bekerja keras sepanjang hari tanpa diberi upah, makan
pun sangat terbatas, sehingga banyak yang kelaparan, sakit dan meninggal. Untuk
mengerahkan tenaga kerja, tiap-tiap desa dibentuk panitia pengerahan tenaga
yang disebut Rumokyokai. Jepang memobilisasi para pemuda untuk membentuk
tentara cadangan, yang diharapkan membantu Jepang melawan Sekutu.
Pengerahan tenaga di desa-desa,
menimbulkan perubahan sosial yang luas. Para romusha yang
berhasil melarikan diri kembali ke desanya masing-masing membawa pengalaman
baru dan membuka isolasi desa. Pada Januari 1944, Jepang memperkenalkan sistem tonarigumi (rukun tetangga). Tonarigumi merupakan
kelompok-kelompok yang masing-masing terdiri dari 10-20 rumah tangga. Sistem
tonarigumi ini bertujuan mengawasi aktivitas penduduk yang dicurigai. Untuk
situasi perang, tonarigumi difungsikan untuk latihan pencegahan bahaya udara, kebakaran,
pemberantasan kabar bohong dan mata-mata musuh.
3. Dampak dalam Bidang
Birokrasi
Setelah Jepang berhasil
menguasai wilayah Indonesia maka Jepang segera membagi wilayah Indonesia, dalam
tiga pemerintahan militer pendudukan sebagai berikut.
(a) Wilayah I, meliputi Jawa
dan Madura, yang diperintah oleh angkatan darat yang berpusat di Jakarta
(Tentara Keenam Belas).
(b) Wilayah II, meliputi
Sumatera seluruhnya, diperintah oleh angkatan darat yang berpusat di
Bukittinggi (Tentara Kedua Puluh Lima).
(c) Wilayah III, meliputi
Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara dan Maluku yang Diperintah oleh
angkatan laut yang berpusat di Makasar (Armada Selatan Kedua).
Masing–masing ketiga wilayah
itu dipimpin oleh kepala staf tentara/armada dengan gelar gunseikan (kepala pemerintahan militer) dan kantornya disebut gunseikanbu. Usaha membentuk pemerintahan militer pendudukan
sementara ternyata banyak mengalami kesulitan karena Jepang kekurangan staf
pegawai– pegawainya. Dengan demikian, Jepang terpaksa mengangkat pegawai dari
bangsa Indonesia.
Pada saat pemerintahan
sementara tersebut, orang–orang Indonesia banyak menduduki jabatan– jabatan
tinggi. Namun demikian, pada Agustus 1942 masa pemerintahan militer sementara
berakhir. Jepang telah mengirimkan tenaga pemerintahan sipil ke Indonesia.
Sejak itu, jabatan–jabatan penting yang diduduki oleh orang Indonesia mulai diganti.
Pada pertengahan 1943 kedudukan
Jepang dalam Perang Pasifik mulai terdesak, maka jepang kembali memberi
kesempatan kepada bangsa Indonesia, untuk turut mengambil bagian dalam pemerintahan.
Untuk itu, pada 5 September 1943 Jepang membentuk Badan Pertimbangan
Keresidenan (Syu Sang Kai) dan Badan Pertimbangan Kotapraja Istimewa (Syi Sang In).
Banyak orang Indonesia yang menduduki
jabatan–jabatan tinggi dalam pemerintahan, antara lain: Prof. Husein
Djajadiningrat sebagai kepala Departemen Urusan Agama, Sutarjo Kartohadikusumo
sebagai kepala pemerintahan (syucokan) di
Jakarta, dan R.M.T.A Suria sebagai kepala pemerintahan (syucokan) di Bojonegoro. Di samping itu ada 7 orang
Indonesia yang menduduki jabatan sebagai penasehat pada pemerintahan militer,
di antaranya: Ir. Soekarno (Departemen Urusan Umum), Mr. Suwandi dan dr. Abdul
Rasyid (Departemen Urusan Dalam Negeri), Prof. Dr. Mr. Supomo (Departemen
Kehakiman), Mochtar bin Prabu Mangkunegara (Departemen Lalu Lintas), Mr. Muh.
Yamin (Departemen Propaganda), dan Prawoto Sumodiloyo (Departemen Ekonomi).
Dengan demikian pendudukan
Jepang di Indonesia membawa dampak yang sangat besar, dalam birokrasi
pemerintahan. Selama zaman Hindia Belanda, jabatan–jabatan penting dalam pemerintahan
tidak pernah diberikan kepada Indonesia.
4. Bidang Kebudayaan
Pada masa Jepang, bidang
pendidikan dan kebudayaan diperhatikan dan bahasa Indonesia mulai dipergunakan.
Bahasa Indonesia dijadikan sebagai pelajaran utama, sedangkan bahasa Jepang
dijadikan sebagai bahasa wajib. Dengan semakin meluasnya penggunaan bahasa
Indonesia, komunikasi antarsuku di Indonesia semakin intensif yang pada akhirnya
semakin merekatkan keinginan untuk merdeka. Pada 1 April 1943 dibangun pusat kebudayaan
di Jakarta, yang bernama “Keimin Bunka Shidoso”.
Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan
0 komentar:
Post a Comment