Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan
Organisasi Ekonomi dan Pendidikan
a. Budi Utomo
(1908)
Politik etis yang diberlakukan oleh pemerintah
kolonial Belanda membawa dampak munculnya priyayi Jawa yang “baru” atau priyayi
rendahan, mereka memiliki pandangan bahwa kunci dari kemajuan adalah
pendidikan.kelompok inilah yang kemudia dianggap sebagai kelompok pembentuk
organisasi pergerakan yang benar-benar modern.
Dilatarbelakangi kondisi ekonomi yang buruk di Jawa,
dr. Wahidin Sudiro
Husodo pada tahun 1906-1907
barkeliling pulau jawa, untuk memberikan penerangan tentang cita-citanya kepada
para pegawai Belanda dan dalam berusaha mencari dana untuk
beasiswa bagi pelajar Indonesia yang kurang mampu
tapi cakap, dr. wahidin berkeinginan untuk mendirikan badan pendidikan yang di
sebut Studifonds.
Usaha dr. Wahidin tidak mendapatkan tanggapan yang
positif dari pegawai pemerintahan Belanda. Namun usahanya mendapat respon dari
para pelajar. Usaha beliaulah yang merupakan pendorong bagi pelajar, untuk mendirikan
organisasi.
Organisasi Budi Utomo berdiri tanggal 20 Mei 1908
oleh para mahasiswa Sekolah Kedokteran (STOVIA) di Jakarta, yaitu Sutomo, Suraji, Gunawan Mangunkusumo. Budi Utomo (BU) ini sejak awal sudah menetapkan bidang
pendidikan sebagai pusat perhatiannya, dengan wilayah Jawa dan Madura sebagai
sasaran. Pro dan kontra selalu mewarnai dalam kehidupan berorganisasi, tak
terkecuali BU.
Yang kontra mendirikan organisasi tandingan Regent Bond, yang anggota-anggotanya berasal dari kalangan bupati
penganut status quo yang tidak menginginkan perubahan. Sedang yang pro,
antara lain Tirto Kusumo, merupakan kalangan muda yang berpikiran maju.
Pada kongres BU yang diselenggarakan pada 3-5
Oktober 1908, Tirto Kusumo diangkat menjadi Ketua Pengurus Besar. Dalam kongres
ini etnonasionalisasi semakin bertambah besar. Selain itu, dalam kongres
tersebut juga timbul dua kelompok, yaitu kelompok pertama diwakili olah
golongan pemuda yang merupakan minoritas yang cenderung menempuh jalan politik dalam
menghadapi pemerintah kolonial. Adapun kelompok kedua merupakan golongan
mayoritas diwakili oleh golongan tua yang menempuh perjuangan dengan cara lama,
yaitu sosiokultural.
Golongan minoritas yang berpandangan maju dalam
organisasi ini dipelopori oleh Dr. Tjipto Mangunkusumo. Dia ingin Budi Utomo bukan hanya sebagai organisasi yang
mementingkan rakyat, melainkan organisasi yang memiliki jaringan di seluruh Indonesia.
Sementara itu, golongan tua menginginkan dibentuknya Dewan Pimpinan yang
didominasi oleh golongan tua.
Golongan ini juga mendukung pendidikan yang luas
bagi kaum priyayi dan mendorong kegiatan pengusaha Jawa. Tjipto terpilih
sebagai salah satu anggota dewan. Namun, pada 1909 ia mengundurkan diri dan bergabung
dengan Indische Partiij.
Pada tahun 1914 terjadi peristiwa besar yakni Perang
Dunia I, pada saat itulah BU memikirkan bagaimana mempertahankan Indonesia dari
serangan luar. Dalam rapat umumnya di Bandung pada 5-6 Agustus 1915 ditetapkan
mosi yang menegaskan pelu adanya milisi yang harus diputuskan dalam parlemen.
Menurut BU, untuk tujuan itu harus dibentuk dewan perwakilan rakyat terlebih
dahulu.
Untuk tujuan itu, BU ikut dalam dalam komite “Indie Weber” yang dalam rapat-rapatnya diusulkan untuk membentuk
Dewan rakyat (Volksraad). Dengan sikap BU yang moderat, ternyata usulan
dibentuknya Dewan Perwakilan Rakyat dapat terealisasi pada tahun 1918, atau
ketika Perang Dunia I berakhir, hal ini menunjukkan bahwa Belanda memandang BU tidak
berbahaya bagi Belanda.
Bulan April 1931 BU melakukan terobosan besar dengan
mengubah anggaran dasarnya, yang salah satu poinnya adalah membuka diri bagi
semua golongan bangsa Indonesia, tidak hanya terbatas pada orang Jawa. Pada
kongres itu diputuskan bahwa BU harus bekerja sama dengan
oraganisasi-organisasi lain yang bersifat kooperatif.
b. Sarekat Islam
(1911)
Monopoli pedagang Cina dalam penjualan bahan baku
dirasakan oleh pengusah batik Indonesia di Solo sangat merugikan. Pedagang Cina
seringkali mempermainkan harga, yaitu dengan menjual bahan tersebut sedikit
demi sedikit.
Keadaan itu mendorong H. Samanhudi di Solo, mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) yang bersifat
kooperatif pada tahun 1911. Karena sifatnya yang merakyat dan pertumbuhannya
yang pesat, pada 1912 atas usul Haji Oemar Said Cokroaminoto, namanya diubah menjadi Sarekat Islam.
Tujuannya pun diperluas lagi, antara lain:
(1) memajukan semangat dagang bangsa;
(2) memajukan kecerdasan dan kehidupan rakyat
menurut perintah agama Islam;
(3) menghilangkan paham-paham yang keliru tentang
agama Islam;
(4) mempertebal rasa persaudaraan dan saling tolong
menolong.
Pada 26 Januari 1913 diadakan kongres Sarekat Islam
yang pertama di Surabaya, yang dipimpin oleh H.O.S. Cokroaminoto. Dalam kongres
ini ditegaskan: SI bukan partai politik dan tidak bereaksi melawan Belanda.
Kongres kedua diselenggarakan di Solo. Dalam kongres ini ditegaskan lagi bahwa
SI terbuka hanya untuk bangsa Indonesia rakyat biasa, sementara pegawai pangreh praja (yang bekerja pada instansi pemerintah kolonial)
tidak boleh masuk. Pada tahun 1915 di Surabaya didirikan Central Sarekat Islam (CSI).
Tujuannya untuk membantu SI daerah. Pada tanggal
17-24 juni 1916 diadakan kongres SI ketiga di Bandung, yang diberi nama Kongres
Nasional pertama. Dalam kongres itu, 80 cabang SI daerah mengirimkan utusan
yang mewakili 360.000 anggota. Sedangkan jumlah anggota seluruhnya 800.000
orang dan terus meningkat hingga pada tahun 1919 anggotanya telah mencapai 2.250.000
orang.
Namun, karena perbedaan ideologi dan taktik yang
dianut, dalam perkembangannya berikutnya SI pecah menjadi dua kelompok, yakni:
(1) SI Putih,
yang berlandaskan pada asas perjuangan yang semula,
yaitu Islam; dipimpin H.O.S. Cokroaminoto;
(2) SI Merah,
yaitu kelompok anggota SI yang berhaluan sosialis kiri
yamg ingin bergerak secara radikal dan revolusione; dipimpin oleh Darsono dan
Semaun yang berasal dari kader ISDV.
ISDV adalah akronim dari Indische Sociaal Democratische
Vereniging, organisasi berhaluan Marxisme
yang didirikan oleh sekelompok sosialis Belanda. Pada tahun 1923 SI
meninggalkan sikap kooperatif, menjadi nonkooperatif dengan mengubah namanya
menjadi Partai Sarikat Islam (PSI), kemudian pada tahun 1930 diubah menjadi
Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII).
c. Taman Siswa
(1922)
Sejak dilaksanakan Politik Etis, pertambahan sekolah
cukup banyak. Akan tetapi, jumlah tersebut sangat tidak seimbang dengan jumlah
penduduk Indonesia. Sementara itu, secara garis besar metode pendidikan yang
diterapkan pemerintah tidah memberi peluang bagi tumbuhnya kebebasan berpikir.
Siswa didik tidak dibimbing untuk kreatif dan berkreasi.
Dari sanalah muncul usaha-usaha untuk memperbaiki
sistem pendidikan yang ada, salah satunya adalah dengan berdirinya Taman Siswa.
Taman Siswa didirikan oleh Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Dalam melaksanakan
pendidikan, taman siswa berpedoman pada pernyataan asas yang disusun pada tahun
1922. Pernyataan asas itu mengandung
dasar kemerdekaan bagi tiap-tiap orang untuk mengatur diri sendiri.
Hal itu berarti mendidik siswa untuk berpikir,
berbuat, bekerja, dan berperan dalam batas-batas tujuan bersama yang tertib dan
damai. Taman Siswa memiliki sistem pendidikan yang dinamakan dengan Tut Wuri Handayani, yakni bahwa dalam sistem ini guru bertindak
sebagai pemimpin yang berdiri di belakang, tetapi
mempengaruhi dan memberi kesempatan kepada anak
didik untuk berjalan sendiri.
0 komentar:
Post a Comment