Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan
1. Tahlilan
Umat Islam di Indonesia memiliki kekhasan sendiri
yang tidak ditemui pada masyarakat Islam di Timur Tengah, salah satunya adalah tahlilan. Tahlilan adalah acara doa bersama yang diadakan di
rumah keluarga orang yang meninggal, yang diikuti oleh keluarga yang berduka,
para tetangga, dan sanak-saudara orang yang meninggal. Tahlilan pada dasarnya
pengucapan ”La ilaha illallah”,
yang berarti ”Tiada Tuhan selain Allah”.
Tahlilan dimulai pada hari di mana orang
bersangkutan meninggal, biasanya pada malam hari setelah salat magrib atau isya.
Dalam pelaksanaannya, dibacakan ayat-ayat dari Al-Quran, terutama Surat Yaasin hingga dari ayat pertama hingga terakhir, doa-doa
agar sang almarhum/almarhumah diampuni segala dosanya dan diterima
amal-ibadahnya, serta salawat (salam) terhadap Nabi Muhammad beserta para
kekuarganya, sahabatnya, dan para pengikutnya.
Pembacaan ayat dan doa tersebut biasanya dipimpin
oleh seorang ulama. Setelah pembacaan doa selesai, biasanya tuan rumah yang
berduka menyediakan penganan/ makanan tradisional, air minum, serta
berbungkus-bungkus rokok untuk disajikan kepada peserta tahlilan. Setelah
berbincangbincang sekadarnya, para peserta tahlilan pulang.
Acara tahlilan ini lazimnya diselenggarakan selama
tujuh hari berturut-turut. Lalu setelah itu, diadakan pula tahlilan untuk memperingati
40 bahkan hingga 1.000 hari kematian almarhum/ almarhumah. Peringatan 7, 40,
dan 100 hari merupakan tradisi Indonesia pra-Islam, yakni budaya lokal yang
telah bersatu dengan tradisi Hindu-Buddha. Pada zaman Majapahit, penghormatan terhadap
orang yang meninggal dilakukan secara bertahap, yakni pada hari orang
bersangkutan meninggal, 3 hari kemudian, 7 hari kemudian, 40 hari kemudian, 1
tahun kemudian, 2 tahun kemudian, dan 1000 hari kemudian.
Terlihat bahwa acara tahlilan tak sepenuhnya ajaran
murni Islam. Nabi Muhammad tak pernah mengadakan acara tahlilan bila ada yang
meninggal, melainkan hanya mendoakan agar orang meninggal tersebut diampuni
dosanya dan diterima keimanan
Islamnya.
2. Halal bi Halal
Salah satu lagi kekhasan sinkretisme dalam
masyarakat Indonesia adalah tradisi halah bi halal. Halal bi halal secara harfiah berarti ”yang halal dengan yang
halal”, ”yang boleh dengan yang boleh”, ”saling melepaskan ikatan”, atau
”saling mencairkan hubungan yang membeku sebelumnya”. Dengan kalimat lain, ia
dapat berarti acara saling maaf-memaafkan antarsesama umat Islam.
Di Indonesia tradisi ini biasanya dilaksanakan
setelah bulan puasa (shaum) pada bulan Ramadhan berakhir, yakni perayaan Idul
Fitri (Lebaran) pada tahun Hijriyah. Bila di Arab dan negaranegara Timur-Tengah,
budaya saling maaf-memaafkan antarumat Islam dilakukan ketika menjelang puasa
bulan Ramadhan, di Indonesia tradisi maaf-memaafkan cenderung dilakukan setelah
Ramadhan berakhir, yakni pada perayaan Idul Fitri (Lebaran).
Perayaan saling memaafkan ini biasanya ”diformalkan”
menjadi acara saling mengunjungi (atau dikunjungi) antara saudara, kerabat,
atau sahabat untuk saling meminta memaafkan. Tradisi ini disebut pula
silaturahmi (silaturrahim), yang bertujuan umtuk memperpanjang dan menjaga
hubungan antarsesama.
Bila ditelusuri, kebiasaan berhalal bi halal ini
dilaksanakan sejak zaman kesultanan (kekhalifahan) non-Arab yang memiliki budaya
sendiri sebelum Islam datang. Jadilah, pengaruh budaya lokal (non-Arab)
tersebut saling berdialektika dengan tradisi asli
Islam.
3. Ziarah
Dalam agama Islam dikenal tradisi ziarah, yakni
berkunjung kepada makam atau kuburan untuk mendoakan almarhum/ almarhumah agar
iman Islamnya diterima oleh Sang Pencipta dan dihapuskan segala dosa yang
pernah dilakuan selama hidupnya. Namun, pada perkembangannya di Indonesia,
tradisi ziarah ini disisipi oleh kehendak-kehendak lain yang tak ada hubunganya
dalam konteks keislaman.
Tradisi berziarah (pilgrim)
Islam bercampur padu dengan tradisi pemujaan terhadap roh nenek-moyang atau
dewa-dewa Hindu-Buddha, dan hasilnya adalah sang penziarah bukannya mendoakaan
arwah yang meninggal akan tetapi memiliki tujuan lain, di antaranya meminta
kekuatan gaib kepada roh nenekmoyang atau arwah tokoh-tokoh penting dan
keramat. Tak jarang, makam para wali di Jawa banyak dikunjungi oleh mereka yang
memintai ”petunjuknya” kepada roh sang wali yang telah meninggal.
Padahal dalam pandangan Islam, orang yang sudah meninggal
itu tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk memberikan bantuan kepada orang
yang masih hidup, seperti memberikan kekayaan, jabatan, pangkat, kekebalan
tubuh, atau yang lainnya. Maka dari itu, ada orang yang menyebut ziarah sebagai
nandran atau nyadran atau
nyekar. Tradisi nyekar ini merupakan peninggalan
prasejarah yang paling kental dalam tradisi Islam sekarang.
Alkisah, pada tahun 1284 Saka atau 1362 M, Raja
Majapahit, Hayam Wuruk melakukan acara srada untuk memperingati wafatnya
Rajapatni. Tradisi penghormatan terhadap roh nenek moyang terasa masih sangat
kental, walaupun sudah masuk agama Hindu-Buddha. Di saat masuknya agama Islam,
upacara seperti ini tidak hilang malah dibumbui dengan unsur-unsur Islam.
Acara srada dalam bahasa Jawa sekarang adalah nyadran dilakukan pada bulan arwah (Ruwah) atau disebut pula Syaban untuk menjemput datangnya
bulan Ramadhan serta pada hari raya Idul-Fitri dan Idul Adha (Lebaran Haji).
Para penziarah mulanya membacakan doa-doa dan Surat Yaasin dari Al-Quran. Setelah itu mereka menaburkan bebungaan berwarna-warni
dan mengucurkan air tawar yang telah diberi bacaan/doa di atas tanah makam yang
dimaksud.
0 komentar:
Post a Comment