Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan
Gubernur jenderal VOC pertama di Indonesia adalah Pieter Both. Ia menentukan pusat kedudukan VOC di Ambon atas
dasar kemudahan monopoli rempah-rempah. Belakangan, ia berencana memindahkan
pusat kekuasaan ke Jayakarta karena dipandang lebih strategis dan berada di
jalur perdagangan Asia. Dari Jayakarta pula VOC lebih mudah mengontrol gerak
Portugis yang ada di Malaka. Untuk itu, Pieter Both meminta izin Pangeran Jayakarta untuk mendirikan kantor dagang di Jayakarta.
Permintaan itu dikabulkan, namun harus berbagi juga
dengan EIC yang juga akan mendirikan kantor di Jayakarta. Dalam upaya
mempertahankan kekuasaannya, VOC mendirikan benteng di wilayah-wilayah yang
strategis. Pada awalnya, VOC memusatkan kegiatannya di Maluku, tetapi karena
letaknya yang kurang strategis maka dipindahkan ke pulau Jawa, yaitu Jayakarta.
Dalam usahanya mendirikan benteng di Jayakarta, Jan Pieter Zoen Coen (oleh kaum pribumi disebut “Mur Jangkung”), gubernur jenderal VOC, mendapatkan tentangan
dari
Pangeran Jayakarta, Wijayakarma, dan Inggris, karena
kehadiran bagi Wijayakarma dan Inggris, kehadiran VOC dapat menimbulkan ancaman
terhadap kepentingan dagang mereka. Pada awalnya, VOC mengalami kekalahan dalam
dalam peperangan menghadapi Wijayakarma yang dibantu oleh EIC (East India
Company) dari Inggris ketika terjadi pertempuran di laut, yang memaksa J.P.
Coen melarikan diri ke Maluku. Pada tanggal 30 Mei 1619 VOC, di bawah komando
J.P. Coen VOC kembali dari Maluku dengan membawa pasukan yang besar, menyerang
Jayakarta yang berakhir dengan kemenangan VOC.
Maka bergantilah pada tahun itu nama Jayakarta
menjadi Batavia, yang diambil dari kata Bataaf, yang merupakan nenek moyang
bangsa Belanda. Dan pada tanggal 4 Maret 1622 Batavia diakui dengan resmi oleh
Hereen Zeventien sebagai pusat VOC di Indonesia. Wilayah lain yang dikuasai
oleh VOC setelah Jayakarta adalah Banten, yang berhasil diduduki pada tahun
1621. Dalam usahanya menduduki Banten, Belanda memanfaatkan konflik internal
kerajaan Banten dengan cara politik adu domba. Antara Sultan Haji, Putra
Mahkota Banten, sedang berselisih dengan Sultan Ageng Tirtayasa mengenai
pergantian kekuasaan kerajaan.
Dalam hal ini VOC memberikan bantuan kepada Sultan
Haji untuk melengserkan Sultan Ageng Tirtayasa. Setelah berhasil melengserkan
Sultan Ageng Tirtayasa, VOC meminta imbalan berupa perjanjian, yang menyatakan
bahwa Banten merupakan wilayah yang berada di bawah kekuasaan VOC, dan VOC
diijinkan mendirikan benteng. Banten juga harus memutuskan hubungan dengan dengan
bangsa-bangsa lain dan memberikan hak monopoli kepada VOC untuk berdagang di
Banten.
Kerajaan-kerajaan yang saat itu sedang berkuasa di
Indonesia di antaranya, Mataram, Cirebon, Maluku, Banda, Ambon, Makassar, dan
Bone, satu persatu dilucuti wibawa dan kekuasaannya. VOC melakukan cara apapun
untuk dapat mencapai tujuannya, seperti pembantaian, tipu daya, politik Devide
et Impera (pecah belah dan kuasai).
Di Makassar, selain rempah-rempah, berbagai
komoditas bumi lainnya juga diperdagangkan, di antaranya: produk hutan (kayu
cendana, kayu sapan, rotan, damar), produk laut (sisik penyu dan mutiara),
industri rumah tangga (parang, pedang, kapak, kain selayar, kain bima), produk
Cina (porselin, sutera, emas, perhiasan emas, alat musik gong), dan produk India
berupa kain tekstil.
0 komentar:
Post a Comment