Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan
1. Sekatenan dan Grebeg Maulid
Upacara sekatenan diciptakan Sunan Bonang dalam
rangka menyambut hari Maulud Nabi Muhammad Saw. yang jatuh pada bulan Rabiul
Awal tahun Hijriah. Jadi, sekatenan merupakan bagian dari acara grebeg Maulud. Sunan Bonang, seperti Sunan Kalijaga,
menggunakan pertunjukan wayang sebagai media dakwahnya.
Lagu gamelan wayang berisikan pesan-pesan ajaran agama
Islam. Setiap bait diselingi ucapan syahadatain yang
kemudian dikenal dengan istilah sekaten. Dalam tradisi sekatenan, semua
pihak diharapkan keikutsertaannya, dari raja, abdi dalem istana, pasukan
kerajaan, hingga rakyat kecil. Mereka tumpahruah di jalan guna berebutan berkah
yang berupa nasi dan laukpauk berikut sayur mayurnya untuk disantap.
2. Kebatinan dan Kejawen
Kebatinan merupakan bentuk kerohanian yang
menggabungkan kepercayaan agama kuno orang Jawa dengan tradisi mistik Hindu, Buddha,
dan sufi-Islam (dan juga Kristen). Meski di luar Jawa terdapat pula pengikut
kebatinan, namun sebagian besar pengikut ajaran ini memang orang Jawa. Ajaran
kebatinan dan kejawen ini bukan hanya mencakup pengetahuan mistik, namun juga
alam gaib yang dijalankan oleh kaum bangsawan maupun rakyat biasa. Dunia
kebatinan ini sering disebut pula dunia asketisme dan dijalaninya dengan cara
yang bermacam-macam, seperti bertapa, berpuasa, mengatur pernafasan.
Para pengikut kebatinan maupun kejawen tidak
melaksanakan perintah syariat Islam secara lengkap. Mereka tidak sembahyang lima
waktu, percaya terhadap kekuatan benda-benda sakti dan roh leluhur. Selain roh
nenek-moyang, mereka pun memuja arwaharwah tokoh sejarah dan legendaris,
misalnya tokoh Wali Sanga, Panembahan Senopati, dewa-dewi Hindu seperti Dewi
Sri atau Batara Kala. Dalam acara ruwatan, misalnya, seseorang diharapkan terhindarkan
dari segala marabahaya dan kesialan dengan menanggap pagelaran wayang kulit
semalam suntuk.
3. Tembangan
Selain Sunan Bonang, dakwah dengan menggunakan media
seni dilakukan oleh Sunan Giri. Ia menciptakan lagu-lagu bernuansa Islam namun
dengan langgam (nada-irama) Jawa. seperti ”Ilirilir” dan ”Jamuran”.
Sunan Drajat pun menciptakan tembang berbahasa Jawa, yakni ”Pangkur”. Tak
ketinggalan, Sunan Muria ikut menciptakan tembang seperti ”Sinom” dan
”Kinanti”.
Tembang ”Sinom” umumnya menggambarkan suasana ramah tamah
dan berisi nasehat, sedangkan ”Kinanti” yang bernada gembira digunakan guna
menyampaikan ajaran agama, nasihat, dan filsafat hidup. Sementara itu, Sunan
Kalijaga berhasil menciptakan ”Dandanggula”, tembang yang berisi rukun iman.
Berikut ini petikan dari ”Dandanggula” dalam bahasa
Jawa. ”...wa man tu
bi’ilahi tegesi pun pracaya ing Allah ing Pangeran
sejatine, ya Pangeran kang agung kang akarna bumi lan
langit angganjar lawan niksa mring manusa sagung
langgeng tur murba misesa maha suci angganjar
paring rezeki, aniksa angapura”
Yang artinya adalah:
Sifat iman itu
percaya kepada Allah
Tuhan yang sejati dan
Yang Maha Besar
Yang menciptakan bumi
dan langit, memberi dan menyiksa
Kepada seluruh
manusia, kekal dan berbuat sekehendaknya
Yang memberi rezeki,
yang memberi siksa dan mengampuni
4. Tradisi-Tradisi Lainnya
Selain tahlilan, halal bi halal, ziarah,
sekatenan-gerebeg, dan tembangan Jawa, masih banyak tradisi lainnya yang dalam praktiknya
terbentuk dari campuran tradisi lokal, Hindu-Buddha, dengan Islam. Tradisi
tersebut mencakupi acara selamatan kelahiran bayi (aqiqah), hari ashura, sunat atau khitan,
pernikahan, dan lain-lainnya. Tradisi-tradisi ini hampir terdapat di semua daerah
Indonesia yang terpengaruh agama-budaya Islam.
Bagi masyarakat Bugis, tanggal 10 Muharam dirayakan sebagai
hari ashura, yakni tradisi kaum Syiah dalam memperingati kematian cucu Nabi
Muhammad, yakni Husein bin Abi Thalib yang dihabisi musuhnya secara kejam. Pada
perayaan ashura disajikan hidangan ”bubur tujuh macam” yang berisi lauk-pauk berbeda.
Khusus bagi masyarakat Sasak di Lombok, di daerah
ini sebagian masyarakatnya melakukan praktik Islam yang berbeda dengan ajarah
syariah Islam. Ajaran Islam-sinkretis yang dilakukan oleh masyarakat bagian
utara dan selatan Pulau Lombok ini disebut wetu telu atau
tiga waktu. Ajaran wetu telu ini hampir
sama dengan ajaran Hindu-Bali dan kejawen-Jawa. Mereka percaya akan roh leluhur
atau kerabat yang mati akan tetap hidup di dunia lain. Arwah leluhur itu
dipercaya dapat menolong orang yang masih hidup. Ada dua orang yang dapat
memanggil arwah leluhur, yakni pemangku dan kyai. Bagi penganut wetu telu,
alam sekitar seperti mata air dan bukit, memiliki jiwa.
Dalam menjalankan ajaran Islam, para kyai tidak
memimpin shalat lima kali sehari. Pada hari Jumat, khotbah tidak dilakukan. Di
dalam mesjid wetu telu, terdapat patung kayu berbentuk naga yang disebut bayan, yang dianggap nenek moyang mereka.
0 komentar:
Post a Comment