Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan
Konsep Kekuasaan
Bentuk akulturasi, tidak terjadi hanya dalam wilayah
kesenian dan sosial kemasyarakatan, melainkan juga merambah ke dalam dunia
politik dan kekuasaan. Dalam tradisi Jawa Hindu-Buddha, seorang raja selalu
ditempatkan menjadi seorang yang memiliki tingkat lebih tinggi dibandingkan
dengan manusia lain. Begitu pula dalam ajaran Islam, raja atau sultan dipandang
sebagi wali atau wakil Tuhan di muka bumi agar kehidupan bermasyarakat terjamin.
Seorang sultan akan dipandang rendah bila ia tak
mampu mengembang amanah rakyat yang dipercayakan ke pundaknya. Dan konsepsi
akan kekuasan Hindu-Buddha dan Islam tersebut pertama-tama akan berhadapan
dengan konsep kekuasaan tradisional, yang senantiasa dihubung-hubungkan dengan
alam gaib. Karena anggapan dan persepsi tadi, konsep kekuasaan, baik pada masa
Hindu-Buddha maupun Islam, selalu disangkutpautkan dengan hal-hal mistis,
contohnya:
(a) Seorang raja di Jawa, baik ia Hindu, Buddha,
atau Islam, selalu akan memperkuat legitimasi kekuasannya dengan mengaku
sebagai ”suami” dari Nyi Roro Kidul, tokoh wanita cantik yang legendaris yang konon
penguasa Pantai Selatan (Segara Kidul) di
Pulau Jawa (Samudera Indonesia).
(b) Seorang raja selalu mengangkat dirinya sebagai
penjelmaan dewa di dunia (dewaraja) atau seorang khilafah (utusan) Tuhan di muka bumi. Hal ini dilakukan untuk
memperkuat anggapan bahwa seorang raja memiliki hubungan tertentu dengan dewa
atau Tuhan.
(c) raja-raja di Jawa selalu menggunakan gelar-gelar
yang menunjukkan bahwa kekuasaan mereka sangat kuat dan agung, misalnya gelar
Mas Jolang raja Mataram: ”Sultan Agung Hanyokrokusumo
Senopati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidina Panatagama” yang seolah-olah ia merupakan raja sekaligus
senapati tak tertandingi dalam peperangan dan juga sekaligus pemimpin agama.
Atau lihat pula gelar yang dipakai Mpu Sindhok pendiri Dinasti Isana yaitu “Sri Maharaja Raka i Hino Sri Isana Wikrama Dharmatunggadewa” yang menandai bahwa ia adalah penguasa bumi, wakil
dewa, dan juga pendiri dinasti baru.
Raja-raja biasanya memiliki benda-benda pusaka yang
biasa dipakai untuk menyimpan kekuatan magis. Kekuatan ini dalam anggapan para
raja mampu menahan marabahaya, kesulitan, bencana alam dan gejolak alam
lainnya. Benda-benda tersebut biasanya berbentuk keris, payung, tombak, gong,
bahkan gamelan musik, dan benda-benda keramat lainnya. Kebesaran seorang raja atau
penguasa pun hingga kini sering terlihat dari dipahatkannya patung-patung raja
bersangkutan, seperti halnya raja-raja Hindu- Buddha pada masa lalu.
0 komentar:
Post a Comment