Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan
Pengaruh dalam Kesusastraan
Karya sastra merupakan cerminan budaya di mana
sastra tersebut lahir dan berkembang. Sejak masa prasejarah, sastra telah berkembang
dari generasi ke generasi secara tuturan (folklore). Dengan
masuknya tradisi Hindu-Buddha, seni sastra di Indonesia (terutama di Jawa dan
Sumatera) mengalami perkembangan yang progresif, sastra lisan pun beralih
menjadi sastra tulis yang menandakan zaman sejarah dimulai.
Para pujangga atau sekretarsi (juru tulis) istana
menulis kitab-kitab dengan tema-tema beragam, tidak lagi terbatas kepada
legenda dan mitologi semata, melainkan tema yang lebih rasional, yang bernilai
sejarah. Karya-karya sastra India sangat kental pengaruhnya terhadap penulisan
sastra yang berkembang pada masa kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia.
Pada mulanya para pujangga istana menerjemahkan
kitabkitab India seperti Mahabharata dan Ramayana ke dalam bahasa ibu/daerah masing-masing, misalnya
bahasa Melayu atau Jawa Kuno. Setelah kehidupan politik, sosial, ekonomi
stabil, mereka kemudian menggubah atau memparafrasakan (menulis kembali berdasarkan
kalimat-kalimat ciptaan sendiri; bukan sekadar mengalihbahaskan semata)
sastra-sastra India tersebut.
Yang mempelopori penggubahan dari sastra India ke
sastra Jawa Kuno (Kawi) adalah Dharmawangsa Teguh, yakni epic Mahabharata. Penggubahan ini makin pesat pada masa berikutnya. Lahirlah
karya sastra dalam bentuk kakawin seperti: Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa, Bharatayudha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, Gatotkaca Sraya karya Mpu Panuluh, Kresnayana karya
Mpu Triguna. Di daratan Sumatera dan Melayu lahir pula karya-karya saduran dari
India seperti Hikayat Sri Rama (saduran dari Ramayana); Hikayat Pandawa,
Hikayat Pandawa Panca Kelima, Hikayat
Pandawa Jawa (semuanya saduran dari epos Mahabharata), serta Hikayat Sang Boma—meski ada kemungkinan baru ditulis setelah pengaruh Islam
datang.
Selain menggubah dan menyadur, para pujangga makin memperlihatkan
kematangannya sebagai budayawan. Mereka mulai mengarang kisah-kisah sendiri
meski temanya tidak jauh dengan karya-karya pada zaman sebelumnya. Masa ini di
Jawa disebut masa Jawa-Hindu-Buddha bukan lagi masa Hindu-Buddha- Jawa, yang artinya bahwa para sastrawan telah menemukan
“jati diri” mereka sebagai orang Jawa dalam bekarya; begitu pula di Ranah
Melayu dan daerah-daerah lain di Indonesia.
Berikut ini adalah sejumlah karya “asli” para
pujangga Jawa: Negarakretagama karya Mpu Prapanca, Sutasoma karya Mpu Tantular, kitab Pararaton, Kidung Sunda, Ranggalawe, Sorandaka, Usana Jawa, Sutasoma karya
Mpu Tantular, Smaradhana karya Mpu Dharmaja, Lubdaka dan Wrtasancaya karya
Mpu Tanakung. Setelah masyarakat Indonesia mengenal agama dan kebudayaan Islam,
perkembangan dunia sastra makin pesat.
Banyak karya sastra yang bersifat historiografi
tradisional yang di dalamnya memuat elemen-elemen kesejarahan namun tetap mengandung
unsur-unsur pra-Islam. Kitab-kitab seperti Hikayat Raja-Raja Pasai,
Hikayat Aceh, Hikayat Hasanuddin dapat dijadikan sumber dalam melacak sejarah kedatangan Islam ke
Indonesia. Di Jawa muncullah kitab-kitab dalam bentuk suluk, hikayat, serat, dan perimbon. Perimbon ini berisi ramalan dan penentuan hari
yang baik untuk berdagang, mencari ilmu, menikah, acara syukuran, dan
sebagainya.
Pada masa Mataram-Islam, pengaruh seni musik,
sastra, dan bahasa Jawa menyebar ke wilayah lainnya di Nusantara. Sebagai pihak
yang paling berkuasa secara politik, otomatis Mataram pun menghendaki bahwa
seni-budaya khas Mataram dikenal dan dipelajari oleh kerajaan-kerajaan lain
sebagai bawahannya. Oleh karena itu, misalnya, di daerah Priangan (Jawa Barat)
dikenal sejumlah kosa kata dan tembang yang berasal dari budaya Jawa
Karya-karya sastra di Jawa hasil akulturasi
Islam-tasawuf dengan konsep Jawa-Hindu-Buddha antara lain:
(a) Suluk Minang
Sumirang,
menggambarkan jiwa manusia menyatu dengan Tuhan.
(b) Suluk Sukarsa,
menceritakan Ki Sukarsa mencari ilmu untuk mendapatkan
kesempurnaan. Cerita ini mirip cerita Dewa Ruci dalam
cerita pewayangan Jawa yang mengisahkan pencarian Bima (Pandawa nomor dua) akan
hakikat dan makna kehidupan.
(c) Suluk Wijil,
berisi wejangan-wejangan Sunan Bonang kepada Wijil,
seorang mantan abdi istana di Majapahit yang bertubuh cebol.
Karya-karya sastra Melayu (dan kemudian Jawa) banyak
terpengaruhi oleh kebudayaan Arab dan Persia. Cerita-cerita terkenal dari Timur
Tengah ikut menyemarakkan sastra yang beredar di Indonesia. Cerita seperti Kisah 1001 Malam gubahan sastrawan yang hidup pada masa Dinasti
Umayyah, yakni Abu Nawas dari Irak, atau cerita Aladin yang banyak memperngaruhi sastra Melayu di bagian
barat Indonesia. Sastra karya Hamzah Fansuri merupakan contoh hasil akulturasi
kebudayaan Islam- Timur-Tengah dengan ajaran Buddha.
Selain karya-karya di atas, akulturasi sastra Islam
dengan budaya lokal bisa dilihat dari karya-karya sastra lainnya, seperti Syair Panji Sumirang, Cerita Wayang Kinundang, Hikayat Panji Kuda Sumirang, Hikayat Cekel Weneng
Pati, Hikayat Panni Wilakusuma, Syair Ken Tumbunan, Lelakon Mesda Kuminir. Karyakarya yang kaya dengan budaya Islam dan lokal ini banyak dihasilkan
pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan Islam, terutama yang ada di Sumatera dan
Semenanjung Melayu.
Budaya dan sastra Jawa, berbeda dengan budaya
Sumatera, pengaruh kebudayaan Hindu-Buddhanya sangat kental dan sarat akan
unsur-unsur ”kebatinan”. Pada saat kebudayan ini berrtemu dengan tasawwuf dalam
Islam, akhirnya menjadi sangat pas untuk dikembangkan. Karya-karya sastra Jawa,
seperti suluk yang berisi Tentang ramalan, masalah gaib dan arti dari
simbol-simbol tertentu. Suluk merupakan bagian dari ajaran tasawuf yang isinya tantang
proses menuju makrifat.
0 komentar:
Post a Comment