Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan
Organisasi Keagamaan
Reformisme dan modernisme muncul pada abad ke-19 di
Asia Barat Daya. Gerakan tersebut merupakan reaksi akan atas tantangan barat.
Pusat gerakan adalah Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir dengan pemimpinnya Jamaluddin al-Afghani. Gerakan ini datang ke Indonesia berkat tokoh
bernama Muhammad Iqbal dan Amir Ali.
Gerakan tersebut ingin mencari nilai yang dianggap
sesuai dengan zaman modern. reformasi bersifat nasionalistis yang percaya pada
kemajuan dan pengetahuan. Oleh karena itu, hidup yang didasari oleh bekerja
rajin dinilai sangat positif, sedang fatalisme dan tanpa usaha dianggap tidak
rasional dan ditolak. kaum reformis menginginkan agama Islam bersih dari bid’ah (bidat).
Kembali kepada Al-Quran adalah semboyan yang selalu didengungkan
dan penghayatan pribadi lebih diutamakan. Reformisme Islam dapat dianggap
sebagai gerakan emansipasi keagamaan dan agamanya dihargai sepenuhnya oleh
orang barat. Akibatnya, nasionalisme berdasarkan agama Islam meluas, termasuk
ke Indonesia.
Reformisme dan modernisme Islam masuk ke Indonesia
pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Di Indonesia, reformisme dilakukan
oleh sekelompok masyarakat Arab Hadramaut dan muslim India. Jalinan perkawinan
dengan wanita Indonesia menyebabkan hubungan mereka menjadi akrab.
Pikiran dan gerakan reformisme dan modernisme
diterima oleh mereka dan diteruskan ke masyarakat Indonesia. Perbaikan kaum
muslim harus dilakukan melalui pendidikan yang sedapat mungkin mengimbangi
pemikiran barat yang sudah ada.
a. Muhammadiyah
Gerakan Muhamadiyah didirikan oleh H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912. Asas
perjuangannya adalah Islam dan kebangsaan Indonesia. Muhammadiyah bergerak dalam
bidang keagamaan, pendidikan, sosial budaya yang menjurus kepada tercapainya
kebahagiaan lahir & batin. Tujuan pokoknya ialah: menegakkan dan menjunjung
tinggi agama Islam sehingga terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Tujuan-tujuan Muhammadiyah yang sifatnya
operasional, antara lainnya:
(1) mengembalikan pendidikan dan pengajaran yang berlandaskan
agama Islam;
(2) mengembalikan ajaran Islam sesuai Qur’an dan
Hadis dan membolehkan adanya ijtihad;
(3) mengajak umat Islam untuk hidup selaras dengan
ajaran agama Islam;
(4) berusaha meningkatkan kasejahteraan hidup umat
manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya;
(5) menyantuni anak yatim piatu;
(6) membina dan menyiapkan generasi muda agar kelak
dapat menjadi pemimpin-pemimpin masyarakat, agama, dan bangsa yang adil dan
jujur.
Karena merupakan gerakan reformasi Islam,
Muhammadiyah tidak menghendaki adanya bid’ah, takhayul, klenik, dan taqlid. Di antara
sekian usaha itu yang paling menonjol adalah usaha di bidang pendidikan dan
sosial, ditandai dengan banyaknya sekolah-sekolah Muhammadiyah dari TK hingga
perguruan tinggi dan panti asuhan anak yatim. Muhammadiyah juga mendirikam kepanduan,
yang disebut Hizbul Wathan.
Di samping itu didirikan pula Aisiyah, perkumpulan wanita Muhamadiyah, didirikan pada 1918. Pimpinan
pusat mula-mula dijabat oleh Siti Walidah Ahmad Dahlan, dan kemudian dilimpahkan
pada Siti Bariyah. Kegiatan Aisiyah yang pokok adalah di bidang keagamaan,
pendidikan, sosial, dan kewanitaan Islam.
b. Al-Irsyad dan
Partai Arab Indonesia
Gerakan Islam modern juga dilakukan oleh keturunan
Arab. Kelompok sayid yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad tetap
mengelola Jamiat Khair, sedangkan kelompok yang bukan keturunan sayid mendirikan perkumpulan Al-Irsyad pada 1914 dengan bantuan Syekh Ahmad Surkati (asal Sudan) yang semula mengajar di Jamiatul Khair. Organisasi
itu menekankan persamaan umat manusia.
Jumlah keturunan arab di Indonesia ternyata cukup
banyak sehingga perlu diberi wadah dalam partai khusus. Lebih lagi karena
mereka merasa lahir di Indonesia dari wanita Indonesia. Karena itulah A.R. Baswedan mendirikan Partai Indonesia pada tahun 1934. Tidak
diragukan lagi bahwa partai itu menekankan Indonesia sebagai tanah airnya.
c.
PerkumpulanPolitik Katolik Jawi
Di kalangan kaum Nasrani juga lahir organisasi,
yakni PPKJ (Perkumpulan Politik Katolik Jawi), didirikan pada 22 Februari 1925
di Yogyakarta. PPKJ bertujuan turut berusaha sekuat tenaga bagi kemajuan
Indonesia, didasarkan atas ajaran Katolik. Organisasi ini bersifat kooperatif.
Tokoh organisasi ini adalah I.J.Kasimo, seorang pegawai gubernemen. Pada Maret 1930 diadakan kongres pertama.
Keputusannya antara lain menuntut penghapusan poenale santice dari aturan kuli kontrak.
d. Nahdlatul
Ulama (NU)
Pusat penyebaran agama Islam di kota maupun di desa
dikenal dengan nama pesantren. Tamatan pesantren diharapakan dapat mendirikan
pesantren di tempat lainnya. Pada umumnya pesantren yang berpusat di pedesaan
menjadi pusat pengajaran agama Islam yang sudah tua sekali, sedangkan pusat pengembangan
Islam di kota biasanya datang kemudian dan menjadi pusat pembaruan Islam.
Dapat dikatakan bahwa pusat agama Islam dan
pengikutnya di pedesaan adalah para ulama dan santri tradisionalis dan mereka
yang tinggal di kota adalah pengikut modernis. Jadi, wadah gerakan Islam
tradisionalis sebenarnya sudah ada sejak lama.
Makin meluasnya gerakan Islam baru di kota-kota
seperti yang dilakukan oleh Sarekat Islam dan Muhammadiyah, berarti mengurangi
ruang gerak umat Islam di pedesaan. Untuk menampung dan memberikan wadah di
pedesaan perlu dibentuk organisasi yang secara resmi mengikat anggotanya untuk
mencapai tujuan tertentu.
Sementara itu, pada tahun 1926 di Hejaz, Arab Saudi,
diselenggarakan Kongres Islam sedunia. Untuk menghadiri kongres itu
masing-masing lembaga mengirim delegasinya hingga terbentuk delegasi Hejaz.
Para ulama terkemuka terus membahas pemberian nama lembaga itu dan akhirnya Jam’iyatul Nahdlatul
Ulama pada tanggal 31 Januari 1926 di
Surabaya. Delegasi Komite Hejaz mewakili NU. Delegasi itu sudah sah karena
dikirim oleh sebuah organisasi Islam.
Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Para Ulama) adalah
organisasi sosial keagamaan atau Jamiyyah Diniyah Islamiyah yang didirikan oleh para ulama, yaitu K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Abdullah Wahab Hasbullah, K.H. Bisri Syamsuri, K.H. Mas Alwi, dan K.H. Ridwan. Mereka pemegang teguh pada salah satu dari empat mahzab,
berhaluan Ahlussunnah
waljama’ah. Tujuannya tidak saja mengembangkan
dan mengamalkan ajaran Islam, tetapi juga memperhatikan masalah sosial,
ekonomi, dan sebagainya dalam rangka pengabdian kepada umat manusia.
Pada dasarnya Nahdlatul Ulama tidak mencampuri
urusan politik dan dalam kongresnya pada bulan oktober 1928 di Surabaya diambil
keputusan untuk menentang reformasi kaum modernis dan perubahan yang dilakukan
wabahi di hejaz. Kaum Islam reformis dalam beberapa hal bersikap seperti kaum nasionalis
yang tidak mengaitkan agama, misalnya dalam masalah perkawinan, keluarga,
kedudukan wanita, dan sebagainya. Pusatpusat NU ada di Surabaya, Kediri,
Bojonegoro, Bondowoso, dan Kudus. Pada tahun 1935 NU sudah memilki 68 cabang
dengan anggotanya 6.700 orang.
Di dalam Kongres NU di Menes (Banten) tahun 1938,
jelas NU berusaha meluaskan pengaruhnya di seluruh Jawa. Pada kongres tahun
1940 di Surabaya diputuskan berdirinya bagian wanita, Nahdlatul Ulama Muslimat
dan bagian Pemuda Anshor (sudah dibentuk beberapa tahun sebelumnya). Pemuda
Anshor didirikan berdasarkan pan Islamisme. Oleh karena itu, Anshor berhaluan
Internasional.
e. Ahmadiyah
Gerakan Ahmadiyah Indonesia didirikan oleh Mirza Wali Ahmad Beid pada bulan September 1929. Organisasi itu berdasarkan
pada Al-Quran sebagai kitab suci yang menjadi sumber dan arah hidup terbaik.
Ada keyakinan bahwa nabi muhammad adalah nabi penutup dan manusia harus
mengikuti contoh perbuatannya, dan mengaku adanya pembaharu (mujaddid) setelah Nabi Muhammad.
Ahmadiyah muncul karena adanya pengaruh dari
Ahmadiyah di Kadian India yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku sebagai mujaddid pada tahun 1884. Ahmadiyah menekankan
kewajiban manusia untuk bertindak baik dengan penuh persaudaraan, hormat-menghormati,
ramah, dan sebagainya. Pada tahun 1908 terjadi perpecahan karena salah seorang
pemimpinnya, Kwayah Kamaludin mendirikan Ahmadiyah berpusat di Lahore.
Ahmadiyah Kadiyan, dan Lahore sangat besar
pengaruhnya di Indonesia dan Yogyakarta dijadikan pusatnya. Ahmadiyah di
Indonesia tidak mencampuri urusan politik dan hanya mempersoalkan prinsip
keagamaan dalam Islam. Pengaruh Ahmadiyah di kalangan pemuda dan pelajar yang berpendidikan
barat cukup kuat.
f. Majelis Islam
A’la Indonesia (MIAI) 1937
Majelis ini disebut juga Majelis UI Islamil A’la
Indonesia atau Majelis Islam Luhur. MIAI didirikan di Surabaya pada September 1937
atas prakarsa tokoh-tokoh Muhammadiyah, PSII, PII, Al- Irsyad, Persis,
Persatuan Ulama Indonesia, Al-Washiliyah, Al- Islam, Warmusi (Wartawan Muslim
Indonesia).
Adapun susunan pengurusnya sebagai berikut: Ketua:
K.H.A. Wahid Hasyim (NU), Wakil Ketua I: K.H. Mas Mansyur (Muhammadiyah), Wakil Ketua II: Wondoawiseno (PSII), Bendahara: Sukirman, Sekretaris:
Satrodiwiryo (Persis).
Mulanya MIAI tidak berpolitik, tetapi kemudian
mengikuti kegiatan dalam aksi-aksi politik menetang penjajah bersama GAPI dan
Majelis Rakyat Indonesia. Kegiatan MIAI yang utama adalah melaksanakan
kongres-kongres partai dan organisasi Islam Indonesia. Pada masa penjajahan
Jepang, kegiatan dan perjuangan MIAI dibubarkan oleh Jepang.
0 komentar:
Post a Comment