Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan
Untuk mempersatukan partai-partai kecil, pada 24-26
Desember 1935 di Solo diadakan kongres fusi, antara Budi Utomo dan Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Kongres fusi tersebut menghasilkan partai
baru yang disebut Partai Indonesia Raya
(Parindra). Dr. Sutomo adalah
orang yang terpilih menjadi ketuanya dan kantor pusatnya ditetapkan di
Surabaya. Selain Budi Utomo dan PBI, masuk pula Serikat Sumatera dan Serikat Selebes.
Untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia, Parindra melakukan
program-program, yakni:
(1) melakukan pencerdasan secara
politik-ekonomi-sosial kepada masyarakat sebagai bekal dalam menjalankan
pemerintahan sendiri di masa depan;
(2) menggalang persatuan dan kesatuan Indonesia
tanpa memandang suku, agama, ras, pendidikan dan kedudukannya;
(3) membentuk dan menjalankan aksi besar hingga
diperoleh pemerintahan yang demokratis, berdasar kepentingan dan kebutuhan
bangsa Indonesia;
(4) bekerja keras di setiap bidang usaha untuk
meninfkatkan kesejahteraan rakyat baik secara ekonomis, sosial, maupun politis;
(5) mengusakan adanya persamaan han dan kewajiban
serta kedudukan dalam hukum bagi seluruh warga Negara Indonesia.
Pada saat berdirinya, Parindra telah memiliki 52
cabang dengan 2.425 anggota. Pada tahun 1936 meningkat menjadi 57 cabang dengan
3.425 anggota. Dalam kongresnya di Jakarta tanggal 15-18 Mei 1937, Parindra
mengambil sikap moderat. Sikap moderat dinilai sangat fleksibel dan
menguntungkan dengan situasi dan kondisi pada saat itu.
Akhirnya Parindra dapat mendudukan wakilnya dalam Volksraad, yaitu Muhammad Husni Thamrin. Parindra banyak melakukan kritik terhadap Belanda, bahkan
terhadap Petisi Soetarjo 1936, karena dinilai kurang mengakomodasi kepentingan
rakyat.
Untuk memperbaiki perekonomian rakyat, Parindra membentuk
organisasi rukun tani, membentuk sarikat-sarikat sekerja, menganjurkan swadesi
ekonomi, dan mendirikan “Bank Nasional Indonesia”. Kongres kedua dilaksanakan
di Bandung pada 24-27 Desember 1938.
Karena saat itu Dr. Sutomo sudah meninggal maka
kongres memilih K.R.M. Wuryaningrat untuk menjadi ketua partai. Dalam Kongres itu diambil
keputusan-keputusan, antara lain: tidak menerima peranakan (Indo) menjadi
anggota, berusaha keras mengurangi pengangguran, dan meningkatkan transmigrasi
guna memperbaiki kesejahteraan.
Sepak terjang Parindra begitu gencar. Parindra
menjadi pelopor pembentukan Fraksi Nasional, bahkan dengan kegagalam petisi
Soertarjo, Parindra mengambil inisiatif untuk menggalang persatuan politik,
menuju pembentukan badan konsentrasi nasional. Badan Konsentrasi Nasional itu
terbentuk pada Mei 1939, yang disebut Gabungan Politik Indonesia (GAPI).
0 komentar:
Post a Comment