Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan
Cirebon
Awalnya Cirebon adalah daerah kecil di bawah
Kerajaan Sunda yang pada masa itu masih menganut Hindu. Ada dua naskah local yang
menjadi informasi tentang riwayat Cirebon ini, yaitu Purwaka Caruban
Nagari dan Carita Caruban. Berdasarkan Purwaka Caruban Nagari, pada abad ke-15 ada beberapa wilayah yang diberi hak otonomi
oleh Kerajaan Galuh Pajajaran. Wilayah tersebut berada di sekitar Pelabuhan
Muara Jati, sebuah bandar perdagangan di Cirebon.
Pada 1470, tibalah di Pelabuhan Muara Jati (masih termasuk
wilayah Caruban Larang) seorang mubalig bernama Syarif Hidayatullah, anak Nyi Lara Santang, yang tak lain kemenakan Pangeran
Cakrabuana. Sebelum tiba di Cirebon, Hidayatullah singgah di India, Samudera
Pasai, Bantam (Banten), dan menetap cukup lama di Ngampel, Jawa Timur,
pesantren Sunan Ampel. Berdasarkan mufakat anggota Wali Sanga, Syarif
Hidayatullah diutus untuk menyebarkan Islam di Jawa bagian barat. Ia kemudian dikenal
sebagai Sunan Gunung Jati. Mengenai riwayat Hidayatullah ini Purwaka Caruban
Nagari
tak jauh beda dengan naskah Carita Caruban. Menurut Carita Caruban, ada dua tokoh yang dianggap pendiri Kerajaan Cirebon ini.
Tokoh pertama adalah Syarif Hidayat, kelahiran Mekah. Ia merupakan anak tertua
dari pasangan Nyai Lara Santang dengan Maulana Sultan Mahmud, seorang anak raja
Mesir. Lara Santang sendiri adalah anak Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran yang
naik tahta pada 1482 M. Sekembalinya dari Mekah, Syarif Hidayat menjadi pemuka
Islam dan bergelar Sunan Jati. Sebagai cucu Raja Pajajaran, ia diberi kekuasaan
di daerah Caruban atau Cirebon.
Di samping Syarif Hidayat, tokoh yang dianggap
pendiri Cirebon adalah Fadhilah Khan, dikenal juga sebagai Fatahillah. Ia
kelahiran Samudera Pasai tahun 1409. Ayahnya berasal dari Gujarat, bernama
Maulana Makhdar Ibrahim. Setelah dewasa, Fadhilah Khan meninggalkan Aceh, pergi
ke Jawa. Di Jawa ia diterima di Kerajaan Demak sebagai panglima pasukan Demak. Ia
lalu dinikahkan dengan puteri Sunan Jati.
Berdasarkan sumber dari Tome Pires, pendiri Cirebon
(dan juga Banten) adalah Faletehan. Menurut sejarawan Husein Djajadiningrat,
Faletehan ini adalah Nurullah yang dikenal dengan nama Syekh Ibnu Maulana,
berasal dari Pasai, Aceh. Ketika Samudera Pasai direbut oleh Portugis tahun
1521, Nurullah sedang pergi haji ke Mekah.
Sepulangnya dari Mekah tahun 1524, ia enggan tinggal
di Pasai karena sudah dikuasai Portugis, lalu pergi ke Demak. Atas izin raja
Demak, ia berhasil menyebarkan Islam di Banten dan kemudian membangun komunitas
muslim di sana. Kemudian hari, Banten diserahkan kepada anaknya, Hasanuddin.
Nurullah sendiri pergi ke Cirebon dan mendirikan sebuah dinasti di sana
Berdasarkan riwayat hidupnya, dapat dipastikan bahwa
Nurullah itu adalah Fadhilah Khan atau Fatahillah dalam Carita Caruban atau Faletehan menurut catatan Tome Pires. Tokoh
inilah yang menggantikan kekuasaan Sunan Jati di Cirebon. Jadi, dapat disimpulkan
bahwa pendiri Banten dan Cirebon yang sesungguhnya adalah Nurullah, yang tak
lain Fadhilah Khan atau Faletehan atau Fatahillah.
Dari Cirebon, Fatahillah mengembangkan Islam ke Majalengka,
Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Khususnya terhadap Banten
ia berhasil meletakkan dasar bagi pengembangan agama Islam dan perdagangan di
sana. Setelah wafat, ia dimakamkan di samping makam mertuanya, Sunan Gunung
Jati.
Setelah Sunan Gunung Jati meninggal, tahta jatuh
kepada Panembahan Ratu I. Pada masa pemerintahannya, Cirebon masih berada di
bawah kekuasaan Demak. Namun, setelah Demak runtuh oleh Pajang, Cirebon
memerdekakan diri. Kemerdekaan Cirebon ini bahkan berlangsung hingga periode
Mataram berkuasa. Guna menjaga hubungan dengan Cirebon, raja Mataram lalu
menikahi puteri Panembahan Ratu I. Selama itu Mataram memandang Cirebon sebagai
pusat keagamaan.
Namun, hubungan Cirebon-Mataram berubah sejak tahun 1628.
Ketika itu Cirebon memberikan bantuan kepada Mataram dalam menyerang Batavia
yang dikuasai VOC. Setelah gagal mengusir VOC di Batavia, banyak orang Cirebon
berpindah ke Banten. Tindakan orang Cirebon ini oleh Sultan Agung Mataram dianggap pengkhianatan terhadap Mataram.
Karena selama ini Banten belum mau tunduk kepada Mataram. Banten bahkan membantu
rakyat Surabaya ketika berkonflik dengan Mataram pada tahun 1620-1625. Oleh
sebab itu, Sultan Agung lalu menyerbu Cirebon, dan sejak itu Cirebon harus
mengirimkan upeti kepada Mataram.
Hubungan Cirebon-Mataram makin runyam ketika Sultan Mataram Amangkurat I mengharuskan Panembahan Ratu II, pengganti Panembahan Ratu I, untuk pindah dari Cirebon dan tinggal
di Mataram. Panembahan Ratu II dikenal juga sebagai Panembahan Giri Laya. Sedangkan, pemerintahan Cirebon dijalankan oleh Pangeran Wangsakerta, anak Panembahan Ratu II. Oleh Wangsakerta, Cirebon
lalu dibagi dua menjadi Kasepuhan dan Kanoman.
Ketika di Mataram terjadi pemberontakan Trunojoyo, Amangkurat II meminta bantuan kepada VOC. Sebagai imbalannya, VOC
diberi hadiah daerah-daerah pesisir yang dikuasai Mataram. Akibatnya, Cirebon
masuk dalam kekuasaan VOC. Sejak itu, VOC berhak membangun benteng, dan Cirebon
mau tak mau harus membantu VOC bila berhadapan dengan musuh. Pelabuhan Cirebon
pun dimonopoli oleh VOC. Ekspor lada, kayu, gula, serta impor candu diatur oleh
VOC.
Pada tahun 1705, Cirebon sepenuhnya diserahkan
kepada VOC oleh Sultan Paku Buwono I karena VOC telah membantu Paku Buwono I melawan Amangkurat III yang dibantu Untung Surapati. Sejak saat itu juga, Cirebon bersama Indramayu dan Priangan
menjadi karesidenan dan langsung di bawah VOC.
0 komentar:
Post a Comment