Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan
Buton
Sekitar akhir abad ke18, terdapat beberapa kerajaan
kecil di kawasan Sulawesi Tenggara. Kerajaan-kerajaan tersebut adalah Buton, Konawe-Laiwui,
dan Mekongga. Sejak tahun 1613, VOC sudah mengadakan hubungan dan perjanjian
dengan Kerajaan Buton. Perjanjian antara VOC dengan Buton ini berisi ketentuan
tentang bantuan yang diberikan Buton kepada VOC jika sewaktu-waktu diperlukan.
Ketentuan lainnya dalah peraturan pelayaran dan
perdagangan, persetujuan VOC jika ada pengangkatan raja Buton yang baru, dan
kawan dan lawan VOC adalah kawan dan lawan Buton juga. Selain itu, Buton dilarang
berdagang dengan pedagang lain selain Belanda, dan pemberian ganti rugi oleh
pihak VOC atas penebangan pala dan cengkeh di wilayah Buton.
Kesultanan Buton mencapai masa kejayaannya ketika pemerintahan
Sultan Muhammad Idrus. Sultan ini memerintah dari tahun 1824 hingga 1850.
Kekuasaan Buton ketika itu mencakup wilayah Pulau Buton, Muna, Kabaena,
Tukangbesi, Poleang, Rumbia, serta pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Buton dan
Muna. Sistem pemerintahan Buton dibagi lagi menjadi tiga wilayah, yakni wilayah inti, moronene,
dan barata. Wilayah inti dipecah lagi menjadi dua, yakni
wilayah bonto yang diperintah oleh kadie, dan wilayah bobato yang
diperintah oleh lakina.
Daerah moronene merupakan
daerah yang diperintah langsung oleh adat, namun tak langsung berada dalam
sistem pemerintahan. Sedangkan, daerah barata (berarti
perahu atau cadik) merupakan wilayah yang dianggap dan diharapkan untuk menjaga
kestabilan Kerajaan. Dalam Kesultanan Buton, terdapat empat barata, yaitu Muna,
Tiworo, Kalingsusu, dan Kaledupa.
Berbeda dengan Buton, Kerajaan Konawe-Laiwui dan Kerajaan
Mekongga tidak pernah berhubungan dan membuat perjanjian dengan pihak VOC.
Wilayah Konawe-Laiwui kini termasuk daerah Kabupaten Kendari, sedangkan wilayah
Mekongga termasuk Kabupaten Kolaka. Dua kerajaan ini merupakan kerajaan
merdeka. Namun, pada pertengahan abad ke-19 dua kerajaan ini akhirnya
menandatangani perjanjian dengan pihak Belanda.
Belanda mulai menguasai Sulawesi Tenggara sejak diadakannya
perjanjian antara Belanda dengan Sultan Buton pada 1873, dengan Raja
Konawe-Laiwui pada tahun 1858 dan 1885, serta dengan Datu Luwu yang dianggap penguasa Mekongga pada tahun 1861 dan 1887. Isi
perjanjian-perjanjian ini sangat merugikan ketiga kerajaan karena kini ketiga
wilayah tersebut termasuk ke dalam pemerintahan Hindia Belanda.
Meskipun demikian, nyatanya baru pada tahun 1906 angkatan
perang Hindia Belanda mulai ditempatkan di wilayah Buton. Belanda pun menangkap
sejumlah pemuka dan pembesar pribumi yang berkuasa. Belanda berkuasa hingga
tahun 1942 setelah tentara Jepang menginjakkan kaki di Kendari pada tanggal 16
Januari 1942.
0 komentar:
Post a Comment