Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan
Bima
Mulanya, Bima merupakan kerajaan yang dipengaruhi
Hindu- Buddha yang bercampur dengan kebudayaan asli. Sebelum Islam datang,
penduduknya mempercayai arwah-arwah lelulur mereka sebagai penjaga kehidupan.
Pada awal abad ke-17, barulah ajaran Islam masuk ke Bima, yang terletak di
bagian timur Pulau Sumbawa. Tepatnya pada tahun 1620, raja Bima yang bernama La Ka’i memeluk Islam dan namanya berganti menjadi Abdul Kahir.
Sesungguhnya, ajaran Islam telah masuk ke daerah
Sumbawa sejak abad ke16. Persebaran Islam di wilayah ini terbagi dalam dua
gelombang. Gelombang pertama sekitar tahun 1540-1550 oleh para mubalig dan
pedagang dari Demak. Sementara, gelombang kedua terjadi pada 1620 oleh
orang-orang Sulawesi. Pada gelombang kedua inilah Raja Bima, La Ka’i, tertarik
untuk menjadi muslim.
Sejak penguasanya masuk Islam, Bima menjelma menjadi
pusat penyebaran Islam di wilayah timur Nusantara. Para ulama yang berdakwah
sebagian diangkat menjadi penasihat Sultan dan berperan besar dalam menentukan
kebijakan Kerajaan. Banyak ulama termasyur yang datang ke Bima ini. Ada Syekh Umar al- Bantani dari Banten yang berasal dari Arab, Datuk Di Bandang dari Minangkabau, Datuk Di Tiro dari Aceh, Kadi Jalaluddin serta Syekh Umar Bamahsun dari Arab.
Di bagian barat dan timur pelabuhan Bima telah
terdapat perkampungan orang Melayu. Perkampungan ini menjadi pusat pengajaran
Islam. Sultan Bima begitu menghormati orang-orang Melayu dan menganggap mereka
saudara. Mereka bahkan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Ulama dan penghulu
Melayu mendapat hak istimewa untuk mengatur perkampungan mereka sesuai dengan
hukum Islam.
Dengan demikian, dengan mudah bahasa Melayu menyebar
di Bima dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan Kerajaan Bima meliputi Pulau Flores, Timor,
Solor, Sumba, dan Sawu. Pada waktu itu, Bima merupakan salah satu bandar utama.
Para pedagang yang pergi dari Malaka ke Maluku, atau sebaliknya, pasti melewati
perairan Sumbawa.
Untuk meningkatkan perdagangannya, Bima mengadakan hubungan
dengan kerajaan-kerajaan lain yang berdekatan. Salah satunya dengan Kerajaan
Goa. Datuk Di Bandang dan Datuk Di Tiro adalah ulama yang datang ke Sumbawa
atas dukungan Goa. Hubungan dua kerajaan ini dipererat dengan pernikahan antara
keluarga kedua kerajaan.
Kerajaan Bima terbukti telah membantu pihak Goa
dalam menghadapi Belanda. Ketika Goa menandatangani Perjanjian Bongaya tahun
1667 dengan pihak Belanda, Bima pun dipaksa untuk ikut menandatangani
perjanjian tersebut. Ketika itu Sultan Bima menolak. Namun, dua tahun kemudian,
1669, Kerajaan Bima akhirnya harus mengakui kekuasaan Belanda. Perjanjian damai
pun dilaksanakan. Sejak itulah bangsa Belanda ikut serta dalam urusan dalam
negeri Bima.
Pada tahun 1906, penguasa Bima, Sultan Ibrahim, dipaksa menandatangani kontrak politik yang bertujuan
menghapus kedaulatan Kerajaan Bima oleh Belanda. Isi perjanjian ini antara lain:
Bima mengakui wilayahnya menjadi bagian dari kekuasaan Hindia Belanda, Sultan
tidak boleh mengadakan kerjasama dengan bangsa Eropa lain. Selain itu, Bima
harus membantu Belanda bila sedang berperang dan Sultan dilarang menyerahkan kekuasaannya
selain kepada Belanda.
Pada masa pemerintahan sultan terakhir, Muhammad Salahuddin (1915-1951), pendidikan agama Islam mengalami perkembangan
yang pesat. Sultan Muhammad memperbanyak sarana peribadahan dan pendidikan,
seperti masjid dan madrasah. Kerajaan Bima berakhir pada tahun 1951 karena
Sultan Muhammad Salahuddin meninggal dunia. Di samping itu, sebelumnya Bima
telah mengakui kedaulatan Republik Indonesia dan menjadi bagiannya. Kini Bima
menjadi wilayah kabupaten berada dalam Provinsi Nusa Tenggara Barat.
0 komentar:
Post a Comment