Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan
Aceh
Kerajaan Aceh didirikan Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1530 setelah melepaskan diri dari
kekuasaan Kerajaan Pidie. Tahun 1564 Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Sultan Alaudin al-Kahar (1537-1568). Sultan Alaudin al-Kahar menyerang kerajaan
Johor dan berhasil menangkap Sultan Johor, namun kerajaan Johor tetap berdiri
dan menentang Aceh. Pada masa kerajaan Aceh dipimpin oleh Alaudin Riayat Syah dating pasukan Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman untuk meminta ijin berdagang di Aceh.
Penggantinya adalah Sultan Ali Riayat dengan panggilan Sultan Muda, ia
berkuasa dari tahun 1604-1607. Pada masa inilah, Portugis melakukan penyerangan
karena ingin melakukan monopoli perdagangan di Aceh, tapi usaha ini tidak
berhasil. Setelah Sultan Muda digantikan oleh Sultan Iskandar Muda dari tahun 1607-1636, kerajaan Aceh mengalami kejayaan dalam perdagangan.
Banyak terjadi penaklukan di wilayah yang berdekatan dengan Aceh seperti Deli
(1612), Bintan (1614), Kampar, Pariaman, Minangkabau, Perak, Pahang dan Kedah (1615-1619).
Gejala kemunduran Kerajaan Aceh muncul saat Sultan Iskandar Muda digantikan
oleh Sultan Iskandar Thani (Sultan Iskandar Sani) yang memerintah tahun 1637-1642.
Iskandar Sani adalah menantu Iskandar Muda. Tak
seperti mertuanya, ia lebih mementingkan pembangunan dalam negeri daripada
ekspansi luar negeri. Dalam masa pemerintahannnya yang singkat, empat tahun,
Aceh berada dalam keadaan damai dan sejahtera, hukum syariat Islam ditegakkan,
dan hubungan dengan kerajaan-kerajaan bawahan dilakukan tanpa tekanan politik
ataupun militer.
Pada masa Iskandar Sani ini, ilmu pengetahuan
tentang Islam juga berkembang pesat. Kemajuan ini didukung oleh kehadiran Nuruddin ar-Raniri, seorang pemimpin tarekat dari Gujarat, India.
Nuruddin menjalin hubungan yang erat dengan Sultan Iskandar Sani. Maka dari
itu, ia kemudian diangkat menjadi mufti (penasehat) Sultan. Pada masa ini
terjadi pertikaian antara golongan bangsawan (Teuku) dengan golongan agama
(Teungku). Seusai Iskandar Sani, yang memerintah Aceh berikutnya adalah empat
orang sultanah (sultan perempuan) berturut-turut.
Sultanah yang pertama adalah Safiatuddin Tajul Alam (1641- 1675), janda Iskandar Sani. Kemudian
berturut-turut adalah Sri Ratu Naqiyatuddin
Nurul Alam, Inayat Syah, dan Kamalat Syah.
Pada masa Sultanah Kamalat Syah ini turun fatwa dari Mekah yang melarang Aceh
dipimpin oleh kaum wanita. Pada 1699 pemerintahan Aceh pun dipegang oleh kaum
pria kembali. Ketika Sultanah Safiatuddin Tajul Alam berkuasa, di Aceh tengah
berkembang Tarekat Syattariah yang dibawa oleh Abdur Rauf Singkel.
Sekembalinya dari Mekah tahun 1662, ia menjalin hubungan
dengan Sultanah, dan kemudian menjadi mufti Kerajaan Aceh. Abdur Rauf Singkel
dikenal sebagai penulis. Ia menulis buku tafsir Al-Quran dalam bahasa Melayu,
berjudul Tarjuman al-Mustafid (Terjemahan Pemberi Faedah), buku tafsir pertama berbahasa Melayu yang ditulis di
Indonesia.
Pada tahun 1816, sultan Aceh yang bernama Saiful Alam bertikai dengan Jawharul Alam Aminuddin. Kesempatan ini dipergunakan oleh Gubernur Jenderal asal
Inggris, Thomas Stanford Raffles
yang ingin menguasai Aceh yang
belum pernah ditundukkan oleh Belanda. Ketika itu pemerintahan Hindia Belanda
yang menguasai Indonesia tengah digantikan oleh pemerintahan Inggris. Pada
tanggal 22 April 1818, Raffles yang ketika itu berkedudukan di Bengkulu,
mengadakan perjanjian dagang dengan Aminuddin. Berkat bantuan pasukan Inggris akhirnya
Aminuddin menjadi sultan Aceh pada tahun 1816, menggantikan Sultan Saiful Alam.
Pada tahun 1824, pihak Inggris dan Belanda
mengadakan perjanjian di London, Inggris. Traktat London ini berisikan bahwa
Inggris dan Belanda tak boleh mengadakan praktik kolonialisme di Aceh. Namun,
pada 1871, berdasarkan keputusan Traktat Sumatera, Belanda kemudian berhak
memperluas wilayah jajahannya ke Aceh. Dua tahun kemudian, tahun 1873, Belanda
menyerbu Kerajaan Aceh. Alasan Belanda adalah karena Aceh selalu melindungi
para pembajak laut. Sejak saat itu, Aceh terus terlibat peperangan dengan
Belanda. Lahirlah pahlawan-pahlawan tangguh dari Aceh, pria-wanita, di
antaranya Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Panglima Polim.
Perang Aceh ini baru berhenti pada tahun 1912
setelah Belanda mengetahui taktik perang orang-orang Aceh. Runtuhlah Kerajaan
Aceh, yang dikenal sebagai Serambi Mekah, yang telah berdiri selama tiga abad
lebih. Kemenangan Belanda ini berkat bantuan Dr. Snouck Horgronje, yang
sebelumnya menyamar sebagai seorang muslim di Aceh. Pada tahun 1945 Aceh
menjadi bagian dari Republik Indonesia.
Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Kerajaan
Aceh
Daerah Aceh terkenal sebagai penghasil lada dan
timah yang diekspor ke luar negeri. Semakin ramainya Selat Malaka, berdatangan
pula bangsa-bangsa Eropa yang ingin berdagang, diantaranya Spanyol, Inggris,
Portugis dan Belanda.
Pelabuhan yang terletak di wilayah Aceh merupakan
daerah transit barang-barang yang dijual dari dalam negeri ke luar negeri dan
sebaliknya. Barang-barang dari dalam negeri diantaranya beras, lada, timah,
emas, perak dan rempah-rempah. Sedangkan barang-barang dari luar negeri adalah
kain, porselin, sutra dan minyak wangi.
0 komentar:
Post a Comment