Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan
Kebangkitan nasionalisme yang muncul di benua Asia
dan Afrika secara tak langsung berkaitan erat dengan kebangkitan nasional di
Indonesia. Atas dasar kesamaan nasib, sama-sama dijajah bangsa Barat, bangsa
Jepang, Cina, Mesir, India-Pakistan, Turki melalui perjuangan masing-masing
mampu memerdekakan diri dari belenggu penjajahan. Melihat kenyataan tersebut,
timbullah kesadaran dan rasa percaya diri untuk bangkit melawan penjajahan
melalui organisasi sosial-politik.
Kebangkitan Bangsa Mesir
Mesir di bawah Dinasti Mamluk merupakan negara Islam
yang selamat dari kehancuran yang dilakukan bangsa Mongol. Mesir yang semula
merupakan daerah taklukan Turki dari tahun 1517, tibatiba ingin memisahkan diri
dari Turki dan menjadi negara merdeka. Berbagai macam cara dilakukan Mesir agar
bisa merdeka dari Turki.
Hal tersebut memunculkan pertentangan. Puncak dari
pertentangan tersebut adalah meletusnya perang Mesir-Turki yang berlangsung selama
dua fase yakni 1832-1833 dan 1839-1840. Dalam peperangan tersebut, pihak Mesir
lebih tangguh karena dibantu Prancis, sementara pihak Turki mengalami
kekalahan. Serangan Prancis di bawah komando Napoleon telah membawa perubahan
dalam alam pemikiran Mesir, yaitu dengan masuknya paham-paham baru seperti
liberalisme, nasionalisme, dan demokrasi.
Adalah Muhammad Ali yang menjabat sebagai Gubernur Mesir datang sebagai utusan
Usmani untuk mengalahkan Prancis. Setelah Prancis pergi dari Mesir, yang kalah
dalam pertempuran laut dengan Inggris, Muhammad Ali kemudian berhasil mengalahkan
Dinasti Mamluk pada tahun 1805 M. Diadakan pembaharuan dibidang pertahanan,
pendidikan dan ekonomi nonpertanian. Muncullah keinginan untuk memisahkan diri
dari Turki dan menjadikan Mesir sebagai negara yang mereka. Hal ini terlaksana
dengan dikalahkannya pasukan Turki dalam pertempuran Konya tahun 1832.
Namun, karena Inggris pun memiliki kepentingan
politik terhadap Turki, maka dengan cepat mereka bergabung dan membentuk suatu
aliansi yang terdiri dari Prusia, Rusia, dan Austria untuk menghadapi kekuatan
Mesir. Melihat peristiwa tersebut Mesir pun segera membuat perjanjian guna
meredam perselisihan dengan Inggris, pada tahun 1840 dengan nama Konvensi Alexandria.
Adapun beberapa poin yang ditetapkan dalam kesepakatan terebut ialah bahwa
Mesir masih tetap jajahan Turki, Mesir harus melepaskan Syiria dari
kekuasaannya, serta pemimpin Mesir yang berasal dari keturunan Mohammad Ali harus
gelar Khedive.
Konsesi yang dibuat Mesir dengan Prancis untuk
menggali Terusan Suez pada masa pemerintahan Khedive Ismail, tenyata tidak diinginkan oleh Inggris, karena Inggris
memandang bahwa proyek penggalian Terusan Suez itu merupakan usaha Prancis untuk
menanamkan pengaruhnya di Mesir. Kecurigaan Inggris tersebut malah membuat
Inggris sendiri ingin merebut Terusan Suez dari Mesir dan Prancis. Pada
1863-1878 pemerintah Mesir mengalami kemerosotan dalam bidang ekonomi sehingga mendorong
Mesir untuk menjual saham Terusan Suez kepada Inggris pada tahun 1875.
Pembukaan Terusan Suez dibangun oleh Ferdinad de Lessep, pada tahun 1869. Dengan dijualnya Terusan Suez kepada Inggris
bukan berarti utang-utangnya terhadap negara lain jadi habis. Perekonomian
Mesir dari waktu ke waktu semakin bobrok, hingga akhirnya pemerintahan Mesir
sendiri mulai dicampuri oleh tangan-tangan Eropa khususnya Inggris dan Prancis.
Ketetapan-ketetapan yang dikeluarkannya pun berasal dari Inggris dan Prancis
yang membuat rakyat Mesir terlantar dan menderita. Dampak dari hal tersebut
muncul perlawananperlawanan guna menentang kesewenang-wenangan Inggris dan Perancis.
Pada 1882 muncul pemberontakan Arabi Pasha yang dipengaruhi
paham Jamaludin Al Afghani. Pemberontakan ini merupakan tonggak dari
nasionalisme Mesir yang menuntut agar segera diubahnya sistem pemerintahan di
Mesir. Tuntutan tersebut dianggap membahayakan posisi Inggris di Mesir. Sebagai
antisipasinya, dengan cepat Inggris segera mengirimkan pasukannya untuk
menyerang Arabi Pasha. Desakan tersebut membuat Arabi Pasha menyerahkan
diri dan mengakui kekalahannya dari pihak Inggris. Sejak saat itulah Inggris memegang
kekuasaan penuh di Mesir.
Walaupun Arabi Pasha telah tertangkap namun
cita-citanya sedikit demi sedikit terus diperjuangkan oleh para tokoh nasionalis.
Hal itu mulai nampak dari diadakannya Kongres Nasional di bawah Mustafa Kamil dengan bertujuan untuk mencapai kemerdekaan secara
penuh. Lagi-lagi Inggris berkehendak lain, mereka mulai melucuti tubuh kongres
dengan menangkap dan membuang tokoh-tokohnya. Akan tetapi tindakan Inggris
tersebut tidak membuat takut dan jera para tokoh nasionalis.
Dengan munculnya Partai Wafd tahun
1919 di bawah pimpinan Saad Zaghul Pasha, menandakan bahwa semangat nasionalisme di Mesir masih tetap
berkobar. Pada November 1918 di bawah pimpinan Saad Saglul, kaum nasionalis menuntut agar Mesir diberikan kemerdekaan penuh.
Dua kali Zaglul Pasha ditangkap dan diasingkan oleh Inggris; pertama ke Malta
dan yang kedua ke Gibraltar.
Atas gerakan yang kontiyu, akhirnya Inggris tidak
mampu lagi menghadapi pemberontakan rakyat Mesir, sehingga terpaksa mengeluarkan
unilateral
declaration pada 28 Februari 1922 yang isinya
sebagai berikut:
(a) Inggris mengakui kedaulatan Mesir;
(b) Inggris berhak atas terusan Suez, Mesir dijadikan daerah opeasi militer dan dipertahankan dari
agresi bangsa asing;
(c) status Sudan ditangguhkan.
Walaupun belum merdeka penuh pada 15 Maret 1922,
Ahmad Fuad menyatakan dirinya sebagai Raja Mesir. Sedangkan golongan nasionalis,
menentang unilateral
declaration, karena mereka menuntut merdeka
penuh. Barulah pada tahun 1936 Mesir menjadi negara yang merdeka penuh.
Sesudah Perang Dunia II, Mesir dan Israel menyerang Palestina
di tahun 1948, tetapi tidak berhasil. Akibatnya Mesir mendapat kecaman dari
negara-negara di dunia. Akibat peristiwa muncul tuntutan dari para perwira
muda, di bawah komando Kolonel Gamal Abdel Nasser untuk dilakukan pembersihan. Tetapi
Raja Farouk mengabaikan tuntutan ini. Terjadilah peristiwa kudeta oleh Jenderal Mohammad Najib pada 23 Juli 1952, dan secara resmi Mesir berubah
menjadi republik sejak 18 Juli 1953.
Pada tahun 1956 Gamal Abdel Nasser melakukan nasionalisasi Terusan Sues. Kemudian ditutup pada
tahun 1967 karena menjadi rebutan antara Prancis dengan Inggris dan dibuka lagi
tahun 1975 oleh Presiden Anwar Sadat.
0 komentar:
Post a Comment