Pengaruh Hindu Budha Terhadap Indonesia - Kebudayaan merupakan wujud dari
peradaban manusia, sebagai hasil akal-budi manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya baik primer, sekunder, atau tersier. Wujud kebudayaan ini cukup beragam,
mencakup wilayah bahasa, adat-istiadat, seni (rupa, sastra, arsitektur), ilmu
pengetahuan, dan teknologi. Dan setiap kebudayaan yang lebih maju pasti
mendominasi kebudayaan yang berada di bawahnya. Begitu pula kebudayaan India
yang dengan mudah diterima masyarakat Indonesia.
Pengaruh Hindu dan Buddha terhadap
kehidupan masyarakat Indonesia dalam bidang kebudayaan, berbarengan dengan datangnya
pengaruh dalam bidang agama itu sendiri. Pengaruh tersebut dapat berwujud fisik
dan nonfisik. Hasil kebudayaan pada masa Hindu-Buddha di Indonesia yang
berwujud fisik di antaranya: arca atau patung, candi (kuil), makara, istana,
kitab, stupa, tugu yupa, prasasti, lempengan tembaga, senjata perang, dan
lain-lain. Sedangkan peninggalan kebudayaan yang bersifat nonfisik di antaranya:
bahasa, upacara keagamaan, seni tari, dan karya sastra.
Wilayah India yang cukup banyak
memberikan pengaruhnya terhadap Indonesia adalah India Selatan, kawasan yang
didiami bangsa Dravida. Ini terbukti dari penemuan candi-candi di India yang
hampir menyerupai candi-candi yang ada di Indonesia. Begitu pula jenis aksara
yang banyak ditemui pada prasasti di Indonesia, adalah jenis huruf Pallawa yang
digunakan oleh orangorang India selatan.
Meskipun budaya India berpengaruh
besar, akan tetapi masyarakat Indonesia tidak serta-merta meniru begitu saja
kebudayaan tersebut. Dengan kearifan lokal masyarakat Indonesia, budaya dari India
diterima melalui proses penyaringan (filtrasi) yang natural. Bila dirasakan
cocok maka elemen budaya tersebut akan diambil dan dipadukan dengan budaya
setempat, dan bila tak cocok maka budaya itu dilepaskan. Proses akulturasi
budaya ini dapat dilihat pada model arsitektur, misalnya, punden berundak
(budaya asli Indonesia) pada Candi Sukuh di Jawa
Tengah; atau pada dindingdinding
Candi Prambanan yang memuat
relief tentang kisah pewayangan yang memuat tokoh Punakawan; yang dalam relief manapun
di India takkan ditemui.
1. Praktik Peribadatan
Pengaruh Hindu-Buddha
terhadap aktifitas keagamaan di Indonesia tercermin hingga kini. Kalian dapat
merasakannya kini di Bali, pulau yang mayoritas penduduknya penganut Hindu. Kehidupan
sosial, seni, dan budaya mereka cukup kental dipengaruhi tradisi Hindu. Jenazah
seseorang yang telah meninggal biasanya dibakar, lalu abunya ditaburkan ke laut
agar “bersatu” kembali dengan alam. Upacara yang disebut ngaben ini memang tidak diterapkan
kepada semua umat Bali-Hindu, hanya orang yang mampu secara ekonomi yang
melakukan ritual pembakaran mayat (biasa golongan brahmana, bangsawan, dan
pedagang kaya).
Selain Bali, masyarakat di
kaki Bukit Tengger di Malang, Jawa Timur, pun masih menjalani keyakinan Hindu. Meski
sebagian besar masyarakat Indonesia kini bukan penganut Hindu dan Buddha, namun
dalam menjalankan praktik keagamaannya masih terdapat unsur-unsur Hindu-Buddha.
Bahkan ketika agama Islam dan Kristen makin menguat, pengaruh tersebut tak
hilang malah terjaga dan lestari. Beberapa wilayah yang sebelum kedatangan
Islam dikuasi oleh Hindu secara kuat, biasanya tidak mampu dihilangkan begitu
saja aspek-aspek dari agama sebelumnya tersebut, melainkan malah agama barulah (Islam
dan Kristen) mengadopsi beberapa unsur kepercayaan sebelumnya. Gejala ini
terlihat dari munculnya beberapa ritual yang merupakan perpaduan antara
Hindu-Buddha, Islam, bahkan animisme-dinamisme. Contohnya: ritual Gerebeg Maulud yang setiap tahun diadakan
di Yogyakarta, kepercayaan terhadap kuburan yang mampu memberikan rejeki dan
pertolongan, kepercayaan terhadap roh-roh, kekuatan alam dan benda keramat
seperti keris, patung, cincin, atau gunung.
Ketika Islam masuk ke
Indonesia, kebudayaan Hindu- Buddha telah cukup kuat dan mustahil dapat
dihilangkan. Yang terjadi kemudian adalah akulturasi antara kedua agama
tersebut. Kita bisa melihatnya pada acara kelahiran bayi, tahlilan bagi orang
meninggal, dan nadran (ziarah). Acara-acara berperiode seperti tujuh hari,
empat puluh hari, seratus hari, tujuh bulanan merupakan praktik kepercayaan
yang tak terdapat dalam ajaran Islam atau Kristen.
Perbedaan antara
unsur-unsur agama yang berbeda dan bahkan cenderung bertolak belakang itu,
bukanlah halangan bagi masyarakat Indonesia untuk menerima dan menyerap ajaran
agama baru. Melalui kearifan lokal (local genius) masyarakat Indonesia, agama yang asalnya dari luar (Hindu,
Buddha, Islam, Kristen) pada akhirnya diterima sebagai sesuatu yang tidak
“asing” lagi. Bila unsur agama tersebut dirasakan cocok dan tak menimbulkan pertentangan
dalam masyarakat, maka ia akan disaring terlebih dahulu lalu diambil untuk
kemudian dipadukan dengan budaya yang lama; dan bila tak cocok maka unsur
tersebut akan dibuang. Dengan demikian, yang lahir adalah agama sinkretisme,
yaitu perpaduan antardua unsur agama dan kebudayaan yang berbeda sehingga
menghasilkan praktik agama dan kebudayaan baru tanpa mempertentangkan perbedaan
tersebut, malah mempertemukan persamaan antarkeduanya. Jelaslah, dari dulu
bangsa Indonesia telah mengenal keragaman agama dan budaya (pluralisme) tanpa harus
bertengkar.
2. Sistem Pendidikan
Sriwijaya merupakan
kerajaan pertama di Indonesia yang telah menaruh perhatian terhadap dunia
pendidikan, khususnya pendidikan Buddha. Aktifitas pendidikan ini diadakan
melalui kerjasama dengan kerajaan-kerajaan di India. Hubungan bilateral dalam
bidang pendidikan ini dibuktikan melalui Prasasti Nalanda dan catatan I-Tsing.
Berdasarkan keterangan
Prasasti Nalanda yang berada di Nalanda, India Selatan, terdapat banyak pelajar
dari Sriwijaya yang memperdalam ilmu pengetahuan. Catatan I-Tsing menyebutkan, Sriwijaya
merupakan pusat agama Buddha yang cocok sebagai tempat para calon rahib untuk
menyiapkan diri belajar Buddha dan tata bahasa Sansekerta sebelum berangkat ke
India. Di Sriwijaya, menurut I-Tsing, terdapat guru Buddha yang terkenal, yaitu
Sakyakerti yang menulis buku
undang-undang berjudul Hastadandasastra. Buku tersebut oleh I-Tsing dialihbahasakan ke dalam bahasa Cina.
Selain Sakyakerti, terdapat
pula rahib Buddha ternama di Sriwijaya, yaitu Wajraboddhi yang berasal dari India Selatan, dan Dharmakerti. Menurut seorang penjelajah Buddha dari Tibet bernama Atica, Dharmakerti memiliki tiga orang murid yang terpandang, yaitu Canti, Sri Janamitra, dan Ratnakirti. Atica sempat beberapa lama tinggal di Sriwijaya karena ingin
menuntut ilmu Buddha. Ketika itu, agama Buddha klasik hampir lenyap disebabkan
aliran Tantra dan agama Islam mulai berkembang di India, sehingga ia memilih
pergi ke Sriwijaya untuk belajar agama.
Pada masa berikutnya,
hampir di setiap kerajaan terdapat asrama-asrama (mandala) sebagai tempat untuk
belajar ilmu keagamaan. Asrama ini biasanya terletak di sekitar komplek candi. Selain
belajar ilmu agama, para calon rahib dan biksu belajar pula filsafat,
ketatanegaraan, dan kebatinan. Bahkan istilah guru yang digunakan oleh
masyarakat Indonesia sekarang berasal dari bahasa Sansekerta, yang artinya
“kaum cendikia”.
3. Bahasa dan Sistem Aksara
Bahasa merupakan unsur
budaya yang pertama kali diperkenalkan bangsa India kepada masyarakat
Indonesia. Bahasalah yang digunakan untuk menjalin komunikasi dalam proses
perdagangan antarkedua pihak, tentunya masih dalam taraf lisan. Bahasa yang
dipraktikkan pun adalah bahwa Pali, bukan Sansekerta karena kaum pedagang
mustahil menggunakan bahasa kitab tersebut.
Bahasa Pali atau Pallawa
merupakan aksara turunan dari aksara Brahmi yang dipakai di India selatan dan
mengalami kejayaan pada masa Dinasti Pallawa (sekitar Madras, Teluk Benggali)
abad ke-4 dan 5 Masehi. Aksara Brahmi juga menurunkan aksara-aksara lain di
wilayah India, yaitu Gupta, Siddhamatrka, Pranagari, dan Dewanagari. Aksara
Pallawa sendiri kemudian menyebar ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dan
tertulis pada prasasti-prasasti berbahasa Melayu Kuno zaman Sriwijaya. Istilah pallawa pertama kali dipakai oleh
arkeolog Belanda, N.J. Krom; sarjana lain menyebutnya aksara
grantha.
Praktik bahasa Sansekerta
pertama kali di Indonesia bisa dilacak pada yupa-yupa peninggalan Kerajaan
Kutai di Kalimantan Timur. Huruf yang dipakai adalah Pallawa. Dikatakan bahwa
di kerajaan tersebut terdapat seorang raja bernama Kudungga, memiliki anak yang bernama Aswawarman, dan juga memiliki cucu Mulawarman. Menurut para ahli bahasa, Kudungga dipastikan merupakan nama
asli Indonesia, sedangkan Aswawarman dan Mulawarman sudah menggunakan bahasa
India. Penggantian nama tersebut biasanya ditandai dengan upacara keagamaan.
Pengaruh agama Hindu dalam
aspek bahasa akhirnya menjadi formal dengan munculnya bahasa Jawa dan Melayu
Kuno serta bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia yang banyak sekali
menyerap bahasa Sansekerta. Beberapa karya sastra Jawa ditulis dalam bahasa
Jawa Kuno dengan cara mengonversikan atau menambahkan (menggubah) karya sastra
yang dibuat di India. Selain Sansekerta, bahasa Pali, Tamil, dan Urdu atau
Hindustani (digunakan di Pakistan dan sebagain India) pun memperkayai kosakata
penduduk Indonesia. Namun, pada perkembangannya Sansekertalah bahasa yang
paling berpengaruh dan dipakai hingga kini oleh orang Indonesia. Bahasa
Sansekerta merupakan bahasa tulisan. Bahasa ini tertulis dalam prasasti, yupa,
kitab suci, kitab undang-undang (hukum), karya sastra. Maka dari kata-katanya dapat
lebih abadi dan dipertahankan.
Pengaruh tersebut kemudian
dilanjutkan dengan proses penyerapan
bunyi. Kadang kita tidak menyadari bahwa bahasa yang kita gunakan tersebut
merupakan serapan dari bahasa Sansakerta. Perubahan bunyi pada serapan ini
terjadi karena logat dan dialek setiap suku-bangsa berbeda. Makna awalnya pun
sebagian telah mengalami perubahan: ada yang meluas dan ada yang menyempit. Namun,
adapula beberapa kata yang maknanya belum bergeser, contohnya: tirta berarti air; eka,
dwi, tri berarti satu, dua, tiga; kala berarti waktu atau bisa juga bencana.
Berikut ini kata-kata Indonesia serapan
dari kata-kata Sansekerta:
(a) sayembara, dari silambara
(b) bentara, dari avantara
(c) harta, dari artha
(d) istimewa, dari astam eva
(e) durhaka, dari drohaka
(f) gembala, dari gopala
(g) karena, dari karana
(h) bahagia, dari bhagya
(i) manusia, dari manusya
10. senantiasa, dari nityasa
Mengenai perkembangan aksara, di
Indonesia terdapat beberapa jenis aksara yang merupakan turunan dari aksara
Pallawa. Di Jawa ada aksara Kawi, aksara Kawi ini pada perkembangan selanjutnya
menurunkan aksara Hanacaraka atau Ajisaka yang digunakan untuk bahasa Jawa,
Sunda, dan Bali. Adapula prasasti zaman Mataram di Jawa Tengah bagian selatan
yang menggunakan aksara Pranagari yang umurnya lebih tua dari aksara
Dewanagari.
Sementara itu, di wilayah Sumatera
Utara (dengan dialek Toba, Dairi, Karo, Mandailing, dan Simalungun) ada aksara
Batak, sedangkan di daerah Kerinci, Lampung, Pasemah, Serawai, dan Rejang
terdapat aksara Rencong. Sementara itu, di daerah Sulawesi bagian selatan ada
aksara Bugis dan Makassar. Dari perkembangan aksara-aksara turunan Pallawa,
kita dapat memperkirakan wilayah mana saja di Indonesia yang pengaruh budaya
Indianya lebih kental, yakni Jawa, Sumatera, dan
sebagian Sulawesi. Sedangkan daerah-daerah
lainnya di Indonesia tak begitu dipengaruhi budaya
India, bahkan ada daerah
yang sama sekali tak tersentuh budaya Hindu-Buddhanya.
Mengenai aksara Hanacaraka,
terdapat sebuah legenda yang berkaitan dengan nama Ajisaka. Ajisaka merupakan cerita rakyat yang berkembang secara lisan,
terutama hidup di masyarakat Jawa dan Bali. Tokoh, Ajisaka, berkaitan dengan
bangsa Saka dari India barat laut. Sebagian masyarakat Jawa percaya bahwa
Ajisaka dahulu pernah hidup di Jawa dan berasal dari India. Mereka juga percaya
bahwa Ajisakalah yang menciptakan aksara Jawa dan kalender Saka.
4. Seni Arsitektur dan Teknologi
Sebelum unsur-unsur
Hindu-Buddha masuk, masyarakat Indonesia telah mengenal teknologi membuat
bangunan dari batu pada masa Megalitikum. Mereka telah pandai membangun menhir,
sarkofagus, peti (kuburan) kubur, patung sederhana, dan benda benda dari batu lainnya. Setelah
berkenalan dengan seni arsitektur Hindu-Buddha, mereka kemudian mengadopsi
teknologinya.
Jadilah candi, stupa, keraton, makara
yang memiliki seni hias (relief) dan arsitekturnya yang lebih beraneka.
a. Candi
Candi berasal dari frase candika graha yang berarti kediaman Betari Durga.
Durga ini disembah terutama oleh umat Buddha. Dalam dunia pewayangan di
Indonesia, Durga merupakan istri Dewa
Siwa yang dikutuk dari berwajah cantik
menjadi raksasa. Yang pertama mendirikan candi di India diduga adalah umat
Buddhis. Ini terlihat dari temuan candi tertua di sana yang dibangun pada abad
ke-3 SM. Pada perkembangan berikutnya, candi pun didirikan oleh umat Hindu.
Awalnya, candi didirikan sebagai tempat
penyimpanan abu hasil pembakaran jenazah raja. Karena itu, di candi yang
disebut pripih sering ditemukan sebuah wadah penyimpanan abu jenazah. Di atas
abu jenazah tersebut terpampang arca raja bersangkutan. Disimpan pula patung
dewa tertentu, biasanya dewa ini dipuja oleh almarhum yang bersangkutan. Pada
dinding-dinding candi biasanya terdapat deretan relief yang mengisahkan
cerita-cerita Mahabharata atau Ramayana
atau kisah sastra lainnya. Pada candi Buddhis
biasanya terdapat relief seputar kehidupan Siddharta. Fungsi candi selanjutnya
berkembang menjadi tempat sembahyang (berasal dari frase “sembah hyang”) untuk dewa-dewi.
Jawa adalah tempat yang paling banyak
terdapat candi, disusul oleh Sumatera. Ini menandakan bahwa perkembangan agama dan
kebudayaan Hindu-Buddha berlangsung lebih pesat di Jawa, terutama di Jawa
Tengah dan Jawa Timur sebagai pusat-pusat pemerintahan pada masanya. Berdasarkan
arsitektur dan tempat dibangunnya, candi-candi di Indonesia dapat dibagi atas:
candi yang terletak di Jawa Tengah (bagian selatan dan utara), Jawa Timur, dan lain-lainnya
seperti di Sumatera, Bali, dan Jawa Barat.
Bentuk candi-candi di Jawa Tengah di
bagian selatan berbeda dengan yang ada di bagian utara. Namun demikian, secara
umum (Soetarno, 2003) candi-candi yang ada di kedua wilayah tersebut memiliki
kesamaan, yaitu:
(1) Bentuk bangunan tampak lebih gemuk,
terbuat dari batu andesit.
(2) Atapnya berbentuk undak-undakan dan
puncaknya berbentuk stupa atau ratna.
(3) Pada pintu dan relung terdapat
hiasan bermotif makara.
(4) Reliefnya timbul agak tinggi dan
lukisannya bercorak naturalis (dua dimensi).
(5) Letak candi utama terletak di
tengah-tengah halaman komplek candi muka candi menghadap ke arah timur.
b. Stupa
Stupa merupakan tempat penyimpanan abu
sang Buddha dan melambangkan perjalanan Sang Buddha menuju nirvana. Setelah wafat, jasad Buddha
dikremasi, lalu abunya disimpan dalam delapan stupa terpisah di utara India.
Pada masa kuno di India, stupa digunakan sebagai makam penyimpanan abu
bangsawan atau tokoh tertentu. Stupa kemudian dijadikan lambang Buddhisme dan
menunjukkan luas pengaruh Buddhisme di berbagai kawasan. Semasa pemerintahan Ashoka (abad
ke-2 SM) di India dibangun banyak stupa untuk menandakan Buddha sebagai agama
kerajaan. Di Asia Tenggara dan Timur, stupa juga didirikan sebagai pengakuan terhadap
Buddhisme di wilayah bersangkutan. Stupa terdiri atas tiga bagian, yaitu andah, yanthra, dan cakra. Andah
melambangkan dunia bawah, tempat
manusia yang masih dikuasai hawa nafsu, Yanthra
merupakan suatu benda untuk memusatkan pikiran
saat bermeditasi, dan Cakra melambangkan nirvana atau nirwana, tempat para dewa
bersemayam. Stupa di Indonesia memiliki kekhasan tersendiri. Di Indonesia stupa
sering merupakan bagian candi atau komplek candi tertentu, seperti pada Candi
Mendut, Borobudur, Jawi, dan Candi Muara Takus.
c. Keraton
Keraton (istana) merupakan
bangunan tempat tinggal raja-raja. Peninggalan keraton-keraton pada masa
Hindu-Buddha, kini jarang ada yang utuh. Sebagian tinggal puing-puing dan
pondasi dasarnya saja, sebagian lagi malah tak berbekas. Istana-istana pada masa
Hindu-Buddha didirikan dengan pondasi dari batu atau batu bata. Biasanya
dindingnya terbuat dari kayu, sedangkan atapnya dari daun sirap. Karena itu,
kini yang tersisa hanyalah pondasipondasinya.
Salah satu keraton
peninggalan Hindu-Buddha yang sudah berupa puing adalah Keraton Boko. Keraton
ini terletak 2 km dari Candi Prambanan. Disebut Keraton Boko karena menurut legenda
di situlah letak Kerajaan Boko, yaitu asal Roro Jonggrang sebelum dilamar oleh
Bandung Bondowoso. Para ahli mengaitkan keraton ini dengan raja-raja Mataram
yang membuat Candi Prambanan. Bangunan ini tidak dapat disebut candi karena di sekitarnya
terdapat bekas benteng dan juga kanal atau selokan.
Di sekitar utara Keraton
Boko terdapat sejumlah bekas-bekas candi yang semua telah rusak, di antaranya
Candi Ngaglik, Candi Watu Gudhig, Candi Geblog, Candi Bubrah, Candi Singa, dan
Candi Grimbiangan. Melihat corak relief dan arsitekturanya, candicandi ini
bercorak Siwa. Mungkin didirikan oleh raja Mataram Dinasti Sanjaya. Istana
lainnya adalah reruntuhan bekas keraton Majapahit di Trowulan, Mojokerto. Masih
terlihat tempat kolam yang dulu digunakan sebagai tempat pemandian kerabat raja
(sekarang dinamai Candi Tikus).
5. Bidang Seni Rupa
Selain pada arsitektur,
pengaruh budaya Hindu-Buddha terlihat pada bidang seni rupa, seperti corak
relief, patung atau arca, dan makara pada candi atau keraton. Dalam hal motif
yang pada masa prasejarah berupa motif-motif budaya Vietnam purba, maka pada masa
Hindu-Buddha berkembang dan makin beragam.
a. Patung
Arca (patung) dipahat
membentuk mahluk tertentu, biasanya manusia atau binatang dengan tujuan
mengabadikan tokoh yang dipatungkan. Patung dibuat oleh para seniman dan
pemahat handal yang termasuk kasta waisya. Biasanya patung ini
disimpan dalam candi sebagai penghormatan terhadap dewa dan raja yang disembah.
Adakalanya sebuah patung raja disimbolkan sebagai patung dewa atau raja yang
dipuja.
b. Relief
Relief merupakan seni pahat-timbul pada
dinding candi yang terbuat dari batu. Pada candi bercorak Hindu, relief
tersebut biasanya melukisan cerita atau kisah yang diambil dari kitab-kitab
suci maupun sastra (bias cerita utuh, bias pula hanya cuplikan), misalnya Mahabharata, Ramayana,
Sudamala, Kresnayana, Arjuna Wiwaha,
berikut tokohtokoh Wayang Punakawan yang tak terdapat di India. Sedangkan dalam
candi Buddha, pada reliefnya terpahat cerita seputar kisah hidup Siddharta Sang
Buddha. Ada pula relief yang menceritakan cerita legenda dari India dan cerita
fabel.
Masing-masing daerah memiliki corak
relief yang khas. Relief pada candi di Jawa Tengah tak sama dengan relief di
candi di Jawa Timur. Di Jawa Tengah, karakteristik objek (manusia, hewan, tumbuhan)
pada relief-reliefnya bersifat natural; artinya Bentuk pahatan objek tak jauh
beda dengan bentuk asli dari objek tersebut (dua dimensi). Sedangkan,
karakteristik objek pada relief di Jawa Timur tampak lebih pipih seperti bentuk
wayang kulit (satu dimensi). Menurut para ahli, peralihan karakteristik para
relief ini menunjukkan peralihan dari zaman Hindu-Jawa ke zaman Jawa- Hindu.
Artinya: ketika kekuasaan beralih dari barat (Jawa Tengah) ke timur (Jawa
Timur), dengan sendirinya kebudayaan masyarakat Jawa makin berkembang, makin
percaya diri dengan corak seninya sendiri, tanpa harus terus menyontek budaya
India.
c. Makara
Dalam mitologi
Hindu-Buddha, makara adalah perwujudan seekor binatang laut besar yang diidentikkan dengan buaya, hiu, lumba-lumba,
sebagai binatang luar biasa. Binatang “jadi-jadian” ini menjadi salah satu
motif yang lazim dalam arsitektur India dan Jawa. Biasanya patung (bisa pula
berbentuk relief) makara ini dipajang pada pintu gerbang candi atau keraton.
Pada Candi Borobudur, contohnya, makaranya berbentuk binatang paduan: berkepala
gajah, bertelinga sapi, bertanduk domba, dengan singa berukuran kecil di dalam
mulut makara tersebut. Pahatan makara ini biasanya berfungsi sebagai mulut
saluran air mancur.
6. Bidang Kesusastraan
Dari India, masyarakat
Indonesia mengenal sistem tulis. Karyakarya tulis yang pertama ada di Indonesia
ditulis pada batu (prasasti) yang memuat peristiwa penting seputar raja atau
kerajaan tertentu. Pada masa berikutnya penulisan dilakukan di atas daun lontar
(Latin: Borassus flabellifer), batang bambu, lempengan
perunggu, daun nifah (Latin: Nifa frutican), dan kulit kayu, karena bahanbahan tersebut lebih lunak daripada
batu, lebih mudah dijinjing dan bisa dibawa ke mana-mana, dan lebih tahan lama.
Pada masa Islam, penulisan dilakukan di atas dluwang (terbuat dari kulit kayu pohon
mulberry), kertas, logam mulia,
kayu, serta kain. Penulisan pada bahan-bahan yang lebih lunak memungkinkan para
penulis lebih leluasa dalam bekarya. Awalnya mereka menulis karya-karya sastra
dari India, seperti Mahabharata dan Ramayana. Setelah menyalin dan
menerjemahkan karya-karya tersebut, mereka lalu mulai menggubah cerita yang
asli ke dalam sebuah kitab. Jadilah karya sastra yang indah dalam segi bahasa,
meski sifat-sifat kesejarahannya samar.
a. Kitab
Kitab merupakan tulisan
berupa kisah, cerita, sejarah, dan kadang campuran antara legenda-mitos-sejarah
sekaligus. Pada masa Hindu-Buddha, kitab ditulis oleh para pujangga (sastrawan)
istana raja tertentu. Mereka menulis atas perintah raja masing-masing. Hidup
mereka ditanggung oleh negara dan mereka harus menaati apa saja yang harus
ditulis atas perintah raja. Oleh karena itu, bisa saja dua kitab yang ditulis
oleh dua penulis yang berbeda, membahas tokoh yang sama namun isinya bertolak
belakang.
Ada pula kitab yang ditulis
pada masa yang berbeda dengan apa yang dibahasnya. Bisa saja sebuah kitab
menulis peristiwa sejarah yang telah berlalu satu abad, misalnya. Dengan
demikian, peristiwa yang dilukiskannya bisa saja tak persis dengan apa yang terjadi
sesungguhnya. Sumber cerita mungkin saja diterima dari
orang atau raja yang menyimpan
maksud-maksud politis tertentu; jadi pendapatnya sepihak dan tidak ilmiah.
Kitab biasanya ditulis pada lembaran
daun rontal atau lontar yang diikatkan dengan semacam tali agar tidak
berceceran. Lontar adalah sejenis tumbuhan yang tumbuh di daerah tropis seperti
Indonesia dan daerah subtropis. Tingginya kurang-lebih 30 meter dan bewarna
kuning dan tumbuh di hutan yang selalu tergenang air. Kayunya bisa dipakai
untuk bahan membuat rumah. Isi kitab biasanya merupakan rangkaian puisi dalam
sejumlah bait (pupuh) yang disebut kakawin. Selain cerita tentang raja-raja, kitab
bisa pula menceritakan mitologi, legenda, cerita rakyat (folklore), undang-undang, hukum pidana-perdata,
hingga aturan pernikahan. Di berbagai daerah di Indonesia kitab disebut pula kidung, carita, kakawin, serat, tambo.
Bisa pula kitab merupakan sebuah gubahan
dari cerita aslinya; dalam arti cerita tersebut sudah mengalami perubahan
(tambahan atau pengurangan), baik dalam jumlah tokoh, alur, latar tempat.
Mengenai waktu pun sering tak dicantumkan alias diabaikan oleh sang penulis
kitab meski yang ditulisnya mengandung sifat kesejarahan.
Pembuatan kitab pertama kali dirintis
pada masa DinastiIsana pemerintahan Dharmawangsa
Teguh. Ia mempelopori penggubahan epik Mahabharata dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno). Arjuna Wiwaha, karya Mpu Kanwa ditulis pada masa
pemerintahan Raja Airlangga abad ke-11 M. Bharatayudha
karya Mpu
Sedah dan Mpu
Panuluh, ditulis pada pemerintahan Raja Jayabaya dari
Kediri pada abad ke-12.
b. Prasasti (Batu Bertulis)
Prasasti merupakan tulisan yang memuat
informasi sejarah yang ditulis pada tugu baru tersendiri atau ditatah di bagian
tertentu pada candi. Bahan untuk membuat prasasti ini biasanya batu atau logam.
Informasi sejarah ini biasanya berupa peringatan terhadap usaha raja dalam
menyejahterakan rakyatnya dalam bentuk memberikan kurban sapi kepada kaum
brahmana atau pendirian taman atau penggalian kanal atau sungai. Bisa pula
prasasti berisi usaha raja yang berhasil menaklukkan kerajaan lain.
Mulanya, prasasti dan yupa ditulis
(zaman Tarumanagara dan Kutai), menggunakan huruf Pallawa dan bahasa
Sansekerta. Prasasti-prasasti yang merupakan peninggalan Tarumanagara di
antaranya: Prasasti Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Jambu, Prasasti
Tugu, Prasasti Pasir Awi dan Muara Ciaruteun, serta Prasasti Lebak. Kebanyakan
prasasti-prasasti ini berbahasa Sansekerta dan berabjad Pallawa. Dengan
demikian, tak sembarang orang bisa membuat prasasti kecuali kaum agama dan bangsawan
yang pandai mambaca-menulis. Pada masa berikutnya, yaitu masa Mataram dan
seterusnya, huruf yang dipakai telah mengalami perkembangan yang disesuaikan
dengan bahasa setempat menjadi huruf Kawi atau Jawa Kuno. Sedangkan di
Sumatera, bahasa yang digunakan awalnya adalah Pali dan kemudian menjadi Melayu
Kuno.
c. Pertunjukan Wayang
Budaya wayang diperkirakan telah hidup
pada masa prasejarah. Budaya mana pun ternyata memiliki seni pertunjukan wayang
masing-masing. Di Asia Tenggara karakter wayang memiliki banyak kesamaan, dalam bentuk, motif, hiasan, dan cara
dipegang oleh dalang. Pada mulanya, zaman prasejarah, pertunjukan wayang merupakan
seni rakyat dan ditujukan untuk menghormati roh leluhur. Kemudian pada masa
Hindu-Buddha, kesenian wayang mulai digemari oleh kaum bangsawan dan raja.
Jadilah, wayang pun menjadi seni keraton yang mengenal bahasa “halus”, untuk membedakan
dengan bahasa rakyat yang “kasar”.
Dalang adalah orang yang
memperagakan adegan wayang, membuat dialog percakapan antarwayang, menjadi
pencerita (narator), sekaligus memimpin orkestra (gamelan) yang dimainkan para
nayaga (pemain alat musik yang seluruhnya pria) dan dinyanyikan oleh sinden
(biasanya perempuan). Kisah-kisah yang dipentaskan biasanya diambil dari
kakawin Mahabharata atau Ramayana. Dengan demikian, alur dan
ceritanya pun banyak ditambah dan diperbaharui. Misalnya, adanya tokoh punakawan
seperti Semar.
7. Bidang Seni Tari dan Musik
Seni tari telah ada di
Indonesia sejak masa prasejarah. Ketika itu tarian dilakukan sebagai persembahan
kepada roh nenekmoyang dalam upacara-upacara, seperti pada acara panen. Jadi, bertari
merupakan kegiatan keagamaan yang suci dan ritual. Musik sebagai pengiring para
penari berasal dari irama ritmis dari alat-alat perkusi atau tetabuhan yang
dipukul-pukul tanpa iringan alat bernada, kecuali suara tenggorokan.
Ketika pengaruh
Hindu-Buddha masuk, seni tari masih dipentaskan dalam rangka keagamaan,
perkawinan, pengangkatan raja, dan lain-lain. Alat-alat bernada mulai dipakai,
seperti alat tiup, alat petik, alat gesek. Persembahan tarian dan musik di kalangan
raja dan bangsawan makin berkembang seiring perkenalan masyarakat Indonesia
dengan bangsa-bangsa lain. Hingga sekarang pengaruh seni musik India di
Indonesia masih dapat dinikmati, misalnya musik dangdut.
Dari uraian di atas, kalian
dapat memahami bahwa pertemuan antara dua bangsa yang berbeda akan menghasilkan
kebudayaan yang sinkretis, budaya campuran. Penduduk Indonesia yang sejak dulu
telah berkenalan dengan budaya luar, pada kenyataannya bias menyerap budaya
asing tersebut tanpa harus meninggalkan kebudayaan asli. Dengan kearifan
lokalnya masyarakat Indonesia dapat beradaptasi dengan budaya luar dan
menyaringnya sesuai dengan kebutuhan dan kondisi ekologis masing-masing.
Setelah berasimilasi, akhirnya budaya serapan itu bukanlah sesuatu yang asing
lagi, bahkan sudah dianggap budaya sendiri.
8. Bidang Pemerintahan
Bentuk kesatuan masyarakat
Indonesia pra Hindu adalah kesatuan masyarakat yang dipimpin oleh seorang
kepala yang dipilih berdasar prinsip Prints Inter Pares (yang utama di antara
sesama) Namun setelah pengaruh Hindu-Buddha masuk dan berkembang di Indonesia,
muncullah sistem pemerintahan Kerajaan yang dipimpin berdasarkan sistem Dinasti
(turun temurun).
Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan
Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan
0 komentar:
Post a Comment