Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan
Sejumlah Kronik Luar Negeri dan Sumber Lokal
tentang Keberadaan Masyarakat Islam Awal di Indonesia
a. Kronik-kronik
Luar Negeri
Sejak abad ke-5 M, pedagang Arab telah menjalin
kontak dengan pedagang dari Cina. Rute dagang bahari pedagang Cina-Arab ini tentunya
melintasi perairan Indonesia. Karena itu, orang-orang Arab dipastikan telah
mengenal masyarakat Indonesia sejak abad ke-5, yang ketika itu agama Islam pun
belum lahir.
Selanjutnya pada abad ke-7 M, para pedagang Islam
dari Persia dan India telah melakukan kontak dagang di sejumlah pelabuhan di
Indonesia. Aktifitas dagang ini semakin ramai sejak Dinasti Umayyah berkuasa.
Perdagangan dilakukan oleh Bani Umayyah dengan Dinasti Tang melalui Selat
Malaka. Informasi sejarah ini tersiar dari kronik Cina masa Dinasti Tang yang melaporkan
perdagangan antara Cina dan Asia Barat.
Perdagangan itu melibatkan Indonesia karena kawasan
ini dilalui pedagang Asia Barat sebelum dan sepulang dari Cina. Antara abad ke-7
dan 8 M sudah terdapat pemukiman muslim di Baros di pantai barat laut Sumatera,
di pesisir utara Jawa, Maluku, dan Kanton di Cina Selatan.
Masih menurut berita Cina bahwa pada tahun 977 M,
sebuah kerajaan Islam di Indonesia telah mengirim utusannya ke negeri Cina.
Kerajaan ini bernama Poni, utusannya bernama Pu Ali. Hingga sekarang
data-data lain tentang keberadaan Kerajaan Poni ini belum ditemukan. Pada 1281
Kerajaan Melayu-Jambi mengirim utusan ke Cina dengan dua utusan yang bernama Sulaiman
dan Syamsuddin—keduanya nama Islam.
Tulisan pada nisan di Leheran, Gresik, berupa huruf
Arab, memberitakan wafatnya wanita muslim bernama Fatimah binti Maimun yang bertanggal 1082 M (ada juga yang berpendapat 1181 M). Pemakaman muslim kuno di
Trowulan membuktikan adanya bangsawan Majapahit yang memeluk Islam sejak masa Hayam Wuruk. Catatan Ma-Huan memberitakan
bahwa pada awal abad ke-15 sebagian masyarakat di pantai utara Jawa (mungkin
kotakota pelabuhan seperti Tuban, Sedayu, dan Gresik) telah memeluk Islam.
Pelayaran kapal dagang dari Asia Barat ke Indonesia
cukup bergantung kepada angin musim. Karena harus menunggu pergantian angin
musim tersebut, para pedagang muslim akhirnya menetap cukup lama di sejumlah
bandar di Indonesia. Selama singgah itulah terjalinlah interaksi sosial.
Bandar-bandar dagang Indonesia yang penting berada di sekitar Selat Malaka dan
pantai utara Laut Jawa. Komoditas yang diperdagangkan berupa hasil hutan,
pertanian, dan kerajinan. Pedagang muslim yang turut andil dalam perdagangan
terutama berasal dari Gujarat, di utara Bombay. Singgahnya para pedagang dalam
waktu yang relative lama, mengakibatkan berdirinya sejumlah pemukiman para pedagang
muslim.
Berdirinya pemukiman-pemukiman itu membuka jalinan sosial
antara pedagang muslim dengan penduduk pribumi. Interaksi itu berawal dari
lingkup ekonomi lalu ke lingkup sosial, budaya, agama, dan politik. Dalam
proses inilah penduduk Indonesia mengenali ajaran Islam. Pengenalan nilai-nilai
Islam juga melibatkan peran mubalig yang ikut serta bersama para pedagang
muslim. Mereka mendirikan pesantren dan masjid dalam pengenalan ajaran Islam
lebih mendalam. Pengenalan itu tidak hanya dilakukan melalui dakwah, melainkan
juga dengan perilaku terpuji.
Berita Cina memberitakan bahwa pada akhir abad ke-13
M, kerajaan kecil bernama “Sa-mu-ta-la” (Samudera) mengutus dutanya ke Cina. “Sa-mu-ta-la” merupakan
ejaan orang Cina untuk Samudera Pasai. Adanya kerajaan Pasai ini diperkuat oleh
catatan Marcopolo yang singgah di Sumatera pada 1292. Marcopolo
menyatakan adanya masyarakat muslim di Perlak akhir abad ke-13 M.
Suma Oriental, kronik karya Tome Pires musafir
Portugis (Portugal), mencatat cukup lengkap penyebaran Islam di Sumatera, Kalimantan,
Jawa, sampai Maluku pada abad ke-16 M. Tome Pires pernah singgah di Malaka,
Sumatera, dan Jawa. Ia meninggalkan Kepulauan Indonesia sekitar tahun 1515 M.
Tome Pires menulis kronik lain yang berjudul Portugese Relacion. Selain, Marcopolo dan Tome Pires, ada pula sejumlah pelaut
Eropa yang sempat singgah di Indonesia, di antaranya: Ferdinand Mendez Pinto dan De Couto (menulis
Da Asia) dari Portugis yang ke Indonesia tidak lama setelah
Tome Pires.
b. Sumber-sumber
Lokal: Historiografi Tradisional
Berbeda dengan sumber-sumber luar negeri,
sumber-sumber local kebanyakan berbentuk kesusastraan. Kitab-kitab yang memuat informasi
sejarah tersebut banyak bentuknya. Di Melayu, Sumatera, Banten, dan Kalimantan,
biasanya berbentuk hikayat. Sedangkan di Jawa, seperti di Banten, Cirebon,
Demak, Mataram, biasanya berbentuk babad, kitab, sajarah, kidung, carita, atau serat. Meski demikian, baik kronik
luar negeri maupun sumber lokal, keduanya sama-sama merupakan penulisan
(historiografi) tradisional.
Bila kronik dari luar negeri ditulis oleh nama dan
tahun yang jelas, para penulis lokal sering tak bernama. Sering sebuah karya dicatat
oleh lebih dari satu orang. Kebanyakan kitab tesebut berbahasa Melayu dan Jawa
dan beraksara Arab gundul atau Jawi. Selain tak tercantum nama penulis,
kitab-kitab mereka acap kali tak mencantumkan tanggal, bulan, dan tahun yang
pasti. Malah bisa saja, sebuah kitab yang menceritakan, misalnya, abad ke-15, ditulis
pada satu-dua abad berikutnya.
Oleh karena itu, peristiwaperistiwa yang tercantum
dalam kitab itu banyak yang tidak faktual. Sering terjadi pula adanya perbedaan
antara kitab satu dengan yang lain, seperti perbedaan waktu, nama raja, gelar, tempat,
atau silsilah. Tujuan masing-masing penulis pun berbeda dengan tujuan para
penulis luar negeri. Para penulis pribumi banyak yang tinggal di istana raja
tertentu. Maka, mereka tentunya menulis untuk tujuan mengagung-agungkan raja
mereka.
Di samping itu, isi dari kitab-kitab tersebut sering
tak masuk akal. Para penulisnya banyak memasukkan kisah yang sebetulnya tak
pernah terjadi. Banyak cerita legenda atau mitologi yang mengisi kitab-kitab
tersebut. Meskipun demikian, ada beberapa peristiwa di dalamnya yang memang
pernah terjadi secara historis.
0 komentar:
Post a Comment