Kerajaan Tarumanegara dan Kehidupan Masyarakatnya - Tarumanegara berdiri sekitar abad ke-5 M di sekitar
Bogor dan Bekasi, Jawa Barat. Rajanya yang terkenal bernama Purnawarman, seorang
Indonesia.
Fa-Hsien, seorang rahib Buddha dari Cina, menyebutkan adanya kerajaan To-lo-mo. Pada tahun 414 M, Fa-Hsien bertolak dari Sailan
(atau Ceylon, sekarang Sri Lanka) untuk balik ke Kanton, Cina. Sebelumnya ia
bertahun-tahun belajar Buddha di kerajaan-kerajaan Buddhis. Ia sering berziarah
ke India. Setelah dua hari berlayar, kapalnya diterjang topan. Ia pun terdampar
dan mendarat di Ye Po Ti, ejaan Cina bagi kata Jawadwipa, yaitu Pulau Jawa. Diduga, tanah yang ia darati
adalah Tarumanagara.
Kronik lain yang menyinggung Tarumanagara adalah
berita Cina era Dinasti Tang. Sekitar tahun 528-539 dan 666-669 M, dating seorang
utusan dari To-lo-mo ke Cina. Tolomo adalah
ucapan lidah orang Cina untuk “taruma”.
Sebelum ada pengaruh India, di sekitar Tarumanagara
terdapat kerajaan Aruteun. Setelah dipengaruhi Hindu, Aruteun pun berganti nama
menjadi Tarumanagara. Oleh karena itu, Aruteun atau Ci Aruteun (kata “ci” dalam
bahasa Sunda berarti “air” atau “sungai” atau “tanah”) dijadikan pusat
pemerintahan Tarumanagara.
Pendapat ini didapat dari
kronik Cina abad ke-5 M. Menurut sumber ini, kerajaan dari Jawa yang pertama
mengirim utusan ke Cina adalah Ho-lo-tan.
Kronik Li-Sung-Shu mengabarkan (430- 452 M), utusan Ho-lo-tan dari She-po (Jawa)
ini berkali-kali dating ke Cina, menjalin persahabatan. Para ahli berpendapat
bahwa nama ho-lo-tan adalah ucapan lidah Cina untuk “Aruteun”. Nama Ho-lo-tan tidak terdengar lagi pada abad ke-6. Sebagai
gantinya muncul nama To-lo-mo (Tarumanagara) yang utusannya sering berkunjung ke
Cina. Pendapat ini bisa benar adanya, karena adanya prasasti di tepi Sungai
Ciaruteun (sekitar Bogor) yang mengabarkan adanya Raja Tarumanagara yang
memerintah pada abad ke-6 (Purnawarman).
Dari naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara (ditulis pada masa Kesultanan Cirebon pada 1680 M) diketahui ada beberapa
raja penerus Purnawarman. Pada naskah ini disebutkan nama Suryawarman, raja ke-7 Tarumanagara yang memerintah tahun
535-561, yang dilanjutkan oleh Sri Maharaja Kretawarman yang memerintah hingga tahun 628. Disebutkan bahwa Suryawarman
menikahkan puterinya, Tirtakancana, dengan
Resiguru Manikmaya yang kelak pendiri Kerajaan Kendan yang terletak di
Cicalengka, Kabupaten Bandung. Setelah Kretawarman, ada beberapa yang
memerintah Tarumanagara. Raja-raja tersebut, yaitu Sudawarman (628-639), Dewamurti (639-640),
Nagajayawarman (640-666), Linggawarman (666-669), dan Tarusbawa (669-670
M). Di bawah Tarusbawa, pamor Tarumanagara makin meredup. Pusat Tarumanagara
dialihkan ke Pakuan, Bogor, dan berganti nama menjadi Kerajaan Sunda.
Kerajaan-kerajaan kecil yang merupakan bawahan
Tarumangara, masing-masing mulai memisahkan diri, salah satunya Kendan. Selanjutnya,
yang berkuasa di Jawa Barat adalah Kerajaan Sunda di sebelah barat dan Kerajaan
Kendan (Galuh) di sebelah timur. Dua kerajaan ini dibatasi oleh Sungai Citarum.
Kelak, dua kerajaan ini dipersatukan oleh Sri Baduga Maharaja, menjadi Pajajaran.
Menurut keterangan Dinasti Tang, Tarumanagara masih ada hingga abad ke-7.
Setelah masa itu, tak ada lagi berita tentangnya. Sangat mungkin, setelah abad
ke-7 Tarumanagara dikuasai oleh Sriwijaya dari Sumatera.
Bukti-bukti adanya Tarumanagara adalah ditemukannya tujuh
buah prasasti, yakni Prasasti Ciaruteun, Kebon Kopi, Jambu, Tugu, Pasir Awi dan
Muara Ciaruteun, serta Lebak. Kebanyakan prasasti-prasasti ini berbahasa
Sansekerta dan berabjad Pallawa. Prasasti Ciaruteun ditemukan di muara Sungai Cisadane,
memuat informasi tentang Raja Purnawarman, yang diidentikkan sebagai Dewa Wisnu
beserta cap kakinya. Prasasti Kebon Kopi ditemukan di Cibungbulang. Prasasti
ini memuat gambar dua telapak gajah Airawata, gajah tunggangan Dewa Wisnu.
Sementara itu, Prasasti Jambu ditemukan di Bukit Koleangkak, berisi sanjungan
terhadap Purnawarman.
Prasasti Tugu ditemukan di Desa Tugu, Cilincing,
Jakarta Utara. Prasasti ini menyebutkan tentang penggalian saluran air (kanal)
bernama Gomati sepanjang 6.112 tombak (11 km). Penggaliannya dilakukan di tahun
pemerintahan ke-22 Purnawarman dan diselesaikan dalam waktu 21 hari. Setelah selesai,
Purnawarman mengadakan selamatan dengan memberikan hadiah 1000 ekor sapi kepada
para brahmana. Prasasti Tugu ini juga menyebutkan penggalian sebuah sungai bernama
Candrabaga. Prasasti Pasir Awi dan Muara Ciaruteun ditulis
dengan huruf ikal dan belum dapat diartikan. Pada Prasasti Lebak, lagi-lagi
disebutkan kebesaran Purnawarman.
Sumber yang memberikan gambaran jelas mengenai kehidupan
politik Tarumanagara, cukup minim. Meski demikian, kronik Fa-Hsien
mengisyaratkan bahwa stabilitas politik Tarumanagara cukup terjaga. Ini
tergambar dari perekonomiannya yang stabil, karena maju-tidaknya perekonomian
tergantung pada stabil-tidaknya keamanan wilayah. Kuatnya pemerintahan
Tarumanagara terlihat pada proyek saluran Gomati dan Candrabaga. Proyek ini membutuhkan
tenaga manusia yang cukup besar. Tak mungkin proyek tersebut berjalan bila
pemerintahan tak berwibawa dan tak dihormarti rakyatnya. Kekuasaan raja
Tarumanagara bersifat mutlak. Ini tergambar dari pengagungan Purnawarman
sebagai penjelmaan Dewa Wisnu, salah satu dari Trimurti.
Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat
Tarumanagara
Kehidupan politik kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha
membawa perubahan baru dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia.
Struktur sosial dari masa Kutai hingga Majapahit mengalami perkembangan yang
ber-evolusi namun progresif. Dunia perekonomian pun mengalami perkembangan:
dari yang semula sistem barter hingga sistem nilai tukar uang.
Kehidupan masyarakat Tarumanagara tak jauh beda
dengan Kutai. Menurut sebuah prasasti, kehidupan sosialnya telah berkembang
baik, terlihat dari penggalian kanal (sungai yang digali) Gomati dan
Candrabhaga secara gotong-royong. Tenaga kerja yang diperintah menggali kanal
tersebut biasanya dari golongan budak dan kaum sudra. Pembangunan kanal Gomati dan
Candrabaga begitu bermakna bagi perekonomian Tarumanagara. Selain sebagai sarana
pencegah banjir, juga dapat dipergunakan sebagai sarana transportasi (lalu
lintas) air dan perdagangan antara pedagang Tarumanagara dengan pedagang daerah
lain. Hasil bumi merupakan komoditas utama.
Melalui perdagangan, masyarakat Tarumanagara dapat memperoleh
barang yang tidak dihasilkan di kerajaannya. Kehidupan ekonomi Tarumanagara
bertumpu pada hasil lading dan kebun. Barang yang ditawarkan adalah beras dan
kayu jati. Mayoritas rakyat Tarumanagara adalah peladang. Karena masyarakat
peladang selalu berpindah-pindah tempat. Ini berbeda dengan masyarakat petani
yang selalu menetap di satu tempat, misalnya di Jawa Tengah dan Timur.
Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan
0 komentar:
Post a Comment