Kerajaan Melayu dan Kehidupan Masyarakatnya - Informasi tentang Kerajaan Melayu, di sekitar Jambi,
dapat dilihat dari catatan perjalanan pendeta Buddha dari Cina, I-Tsing. Rahib ini
mengadakan perjalanan dari Cina ke India dan sebelum sampai ke India, ia sempat
berdiam di Sriwijaya sekitar 6 bulan. Setelah singgah sebentar di Sriwijaya,
I-Tsing kemudian menyempatkan diri singgah di Mo-lo-yeou (Melayu)
sebelum melanjutkan perjalanan ke India. Pada 685 M, I-Tsing kembali dari India
dan singgah lagi di Melayu yang ketika itu sudah dikuasai Sriwijaya. Pada waktu
itu Sriwijaya tengah jaya-jayanya berkat kekuatan maritimnya.
Pengaruh dari Sriwijaya yang besar di sekitar
Sumatera dan Semenanjung Melayu membuat corak agama dam budaya Kerajaan Melayu
pun Buddha. Melayu sempat menjalin hubungan dengan Cina sebelun dikuasai oleh
Sriwajaya. Hal itu terbukti lewat sumber dari Cina, bahwa tahun 644 M ada
utusan dari negeri Mo-lo-yeou ke Cina, dengan tujuan untuk memperkenalkan hasil
bumi rakyat Melayu sehingga terjalinlah hubungan perdagangan dengan Cina. Melayu
mengembangkan perekonomian melalui bidang agraris. Hubungan dagang dengan Cina
telah dimulai sejak abad ke-7 M.
Setelah Sriwijaya mengalami kemunduran, Melayu kemudian
melepaskan diri menjadi kerajaan merdeka. Namun, kemudian Melayu berhasil
dikuasai oleh Singasari dari Jawa melalui ekspedisi Pamalayu yang dikirim oleh
Raja Kertanegara yang bertujuan memperluas wilayah taklukan Singasari. Akhirnya,
pamor Melayu makin meredup.
Setelah Melayu di Jambi pamornya merosot, pusat pemerintahan
berpindah ke Pulau Singapura. Otomatis dengan pindahnya pusat pemerintahan,
pusat kebudayaan pun berpindah juga. Kerajaan Melayu-Singapura ini merupakan
kerajaan Buddha-Hindu terakhir di daerah Melayu. Pada abad ke-14 kerajaan ini
dapat pulih kembali setelah Majapahit mengalami keruntuhan. Namun, pada sisi
lain Kerajaan Melayu-Singapura ini akhirnya harus bersaing dengan kerajaan lain
yang lebih kuat, yaitu Samudera Pasai di Aceh yang beragama Islam.
Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Melayu
Kehidupan politik kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha
membawa perubahan baru dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia.
Struktur sosial dari masa Kutai hingga Majapahit mengalami perkembangan yang
ber-evolusi namun progresif. Dunia perekonomian pun mengalami perkembangan:
dari yang semula sistem barter hingga sistem nilai tukar uang.
Kehidupan ekonomi dan sosial Kerajaan Melayu tak
jauh berbeda dengan Sriwijaya. Kaum bangsawannya memeluk Buddha, masyarakatnya
sebagian besar memeluk keyakinan tradisional
Sriwijaya adalah sebuah negara maritim yang
mempunyai hubungan perdagangan internasional. Para pedagang dari berbagai
bangsa, seperti Cina, anak benua India (Gujarat, Urdu- Pakistan, dan Tamil),
Sri Lanka, dan Campa datang ke Sriwijaya. Bukan tidak mungkin terjadi perkawinan
campur antara para pedagang asing tersebut dengan penduduk asli Sriwijaya. Hal ini
dapat kita simpulkan dari berita I-Tsing yang menyebutkan banyaknya kapal asing
yang datang ke Sriwijaya. Para pelaut ini tinggal beberapa lama di Sriwijaya
menunggu datangnya pergantian angin yang akan membawa mereka berlayar menuju tempat
tujuan. Jelaslah bahwa transportasi laut dan Sungai Musi di Palembang sangat
membantu Sriwijaya dalam mengembangkan pertumbuhan ekonominya.
Dengan kenyataan ini, masyarakat Sriwijaya
diperkirakan sangat majemuk. Mereka juga telah mengenal pembagian (stratifikasi)
sosial walaupun tidak begitu tegas. Hal ini bisa kita lihat dari beberapa
istilah dalam Prasasti Kota Kapur yang menunjukkan kedudukan para bangsawan
terdiri dari para putera raja dan kerabat istana. Adanya istilah yuwaraja (putra mahkota), pratiyuwaraja (putra raja kedua), dan rajakuman (putra
raja ketiga) menunjukkan hal itu. Ditemukan juga istilah−istilah yang berkaitan dengan
pekerjaan atau jabatan tertentu seperti jabatan nahkoda kapal yang disebut puhavam atau puhawan, bupati, dan senopati.
Prasasti Kota Kapur juga menggambarkan adanya kelompok masyarakat yang memiliki
profesi tertentu sebagai tenaga kerja, seperti saudagar, tukang cuci, juru
tulis, pembuat pisau, dan budak-belian yang dipekerjakan oleh raja.
Sebagai negara maritim, diyakini bahwa perdagangan merupakan
bidang andalan Sriwijaya. Hal ini bisa dilihat dari letak geografisnya yang
berada di tengah−tengah jalur perdagangan antara India dan Cina. Apalagi setelah
Selat Malaka berhasil dikuasai Sriwijaya, banyak kapal asing yang singgah di pelabuhan
ini untuk menambah perbekalan (nasi, daging, air minum), beristirahat, dan
melakukan perdagangan. Untuk mengontrol aktifitas perdagangan di Selat Malaka,
penguasa Sriwijaya membangun sebuah bandar di Ligor (Malaysia). Hal ini
diketahui dari Prasasti Ligor yang bertahun 775 M.
Pengiriman hadiah dari pedagang dan upeti dari
raja-raja taklukan kepada raja Sriwijaya merupakan ketentuan hukum. Sriwijaya sebagai
tuan rumah sekaligus negara niaga dan maritim, yang sering dikunjungi oleh
pedagang asing maka Sriwijaya berhak menentukan jumlah atau harga pajak yang
harus dipatuhi oleh para pedagang bersangkutan.
Selain perdagangan, rakyat Sriwijaya mengandalkan pertanian.
Hal ini bisa kita simpulkan dari tulisan Abu Zaid Hasan, pelaut Persia, yang mendapat keterangan dari seorang pedagang
Arab bernama Sulaiman. Abu Zaid Hasan menceritakan bahwa Zabaq (Sriwijaya) memiliki tanah yang subur dan wilayah kekuasaan
yang luas hingga ke seberang lautan. Dengan tanah yang subur, Sriwijaya
kemungkinan memiliki hasil pertanian yang cukup diminati para pedagang asing.
Apalagi wilayah Sriwijaya demikian luas hingga mencapai ke pedalaman Sumatera
dan Jawa. Sementara itu, masalah penguasaan tanah pada masa Sriwijaya dapat
dilihat dari Prasasti Kedukan Bukit yang membahas taman Sriksetra. Diduga,
masalah kepemilikan tanah ini sepenuhnya hak raja.
.
Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan
0 komentar:
Post a Comment